TEMPO.CO , Jakarta: Indonesia sebenarnya adalah negara ASEAN pertama yang mencanangkan proyek mobil nasional. Diawali oleh Toyota Kijang yang dibuat dan dirakit di Indonesia secara total pada 1975. Ini diikuti oleh proyek Mazda MR, Maleo, Bakrie Beta 97, hingga Timor, dan Bimantara pada dekade 1990-an. Pada dekade selanjutnya, muncul merek-merek, seperti Arina, GEA, Texmaco Perkasa, Esemka, Tawon, dan Komodo.
Namun dari sekian banyak merek itu cuma Kijang yang direspons oleh pasar. Sisanya, hanya tekor di bengkel. Indonesia kalah oleh Malaysia yang sudah mengembangkan mobil nasional Proton pada 1989.
Koordinator Pemasaran PT Fin Komodo Teknologi, Dewa Yuniardi, mengatakan untuk mengembangkan mobil nasional tidak ada jalan lain selain dukungan pemerintah agar proyek mobnas itu bisa sukses. Pemerintah harus aktif membantu pemasaran mobil nasional, salah satunya dengan memakainya untuk armada dinas. “Dengan cara itu, bank mungkin mau mengucurkan dana dan masyarakat termotivasi untuk menggunakannya,” kata Dewa saat dihubungi.
PT Fin Komodo Teknologi adalag produsen mobil Fin Tawon dan Fin Komodo. Perusahaan yang bermarkas di Bandung itu sulit mengembangkan produksi massal karena minimnya pasar dan dana yang cekak. Padahal, Fin Komodo dan Fin Tawon mungkin layak disebut sebagai mobil nasional, lantaran proses produksi dan teknologinya murni dari dalam negeri. “Pemerintah diam-diam saja, tidak ada dukungannya,” ujar Dewa.
Reaksi pemerintah memang belum seperti yang diharapkan pelaku industri. Ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah belum akan mencanangkan proyek mobil nasional. “Lagi pula mobil nasional kan slogan zaman Soeharto,” ujar Sofyan seraya mempertanyakan definisi mobil nasional itu.
Menurut Sofyan, jika pemerintah ingin memiliki mobil nasional, komponen, merek, dan teknologi harus dominan di dalam negeri. Sofyan mengakui Presiden Joko Widodo menghendaki Esemka sebagai mobil nasional, namun masih sebatas ide. Produk seperti Esemka, menurut Sofyan, belum melewati uji kelayakan dan belum bisa bersaing. “Tapi kalau mampu, kenapa tidak?”
DEWI SUCI RAHAYU | ANDI RUSLI