TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Muhtar Ependy, dengan hukuman 7 tahun penjara. Muhtar, yang bertindak sebagai perantara alias broker suap untuk Akil, juga dituntut membayar denda Rp 200 juta.
Jaksa juga meminta hakim mencabut hak tertentu terdakwa Ependy, seperti hak remisi dan pelepasan bersyarat. "Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan dalam perkara terdakwa atas nama Akil Mochtar ketika menjadi saksi di bawah sumpah," kata ketua jaksa Titto Jaelani saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis malam, 13 Februari 2015.
Berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi selama persidangan, Ependy ternyata berkali-kali mempengaruhi sejumlah saksi untuk berkata bohong dalam pemeriksaan kasus Akil Mochtar di KPK. Tak hanya itu, Muhtar juga menyuruh para saksi itu memberikan keterangan tidak benar di persidangan. Di antara saksi-saksi yang dipengaruhi Muhtar adalah Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyitoh. Keduanya sudah dituntut untuk kasus penyuapan ke Akil.
Akibat keterangan palsu Muhtar dan para saksi lain yang berhasil dipengaruhi, menurut jaksa, penyidik dan penuntut umum kesulitan mengusut kasus Akil. Alat bukti lain terpaksa dicari untuk mematahkan keterangan saksi-saksi tersebut.
Tuntutan hukuman atas Muhtar pun makin berat, karena selama persidangan dia tidak mengakui ataupun menyesali perbuatannya. "Tidak ada yang saya sesali, Yang Mulia. Semua sudah terjadi," kata Muhtar saat diperiksa di persidangan, pekan lalu. Dia akan membacakan pleidoi pekan depan.
Muhtar didakwa melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kesatu dan Pasal 22 juncto Pasal 35 UU Pemberantasan Korupsi dalam dakwaan kedua.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA