TEMPO.CO, Madiun-Surat Wiyoto, 58 tahun, merupakan salah seorang penangkar burung merak hijau (Pavo muticus) yang nyaris punah. Jumlah merak hijau yang kini berada di kandang penangkaran warga Desa Suko, Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten, Madiun ini sebanyak 18 ekor. "Ada yang dalam satu kandang berisi tiga ekor dan satu ekor," kata Surat, Sabtu, 14 Februari 2015.
Merak-merak itu ditempatkan dalam kandang bambu terpisah-pisah di belakang, samping dan teras rumah Surat. Tiga merak berada di salah satu kandang yang disekat anyaman bambu dengan luas 3 x 3 meter. "Untuk kandang sebenarnya kurang luas," kata dia.
Baca Juga:
Tiap hari Surat memberi makan piaraanya dengan pelet, bekatul, rayap, beras merah dan jagung sebanyak dua kali. Selain itu, vitamin juga menjadi asupan tambahan di luar makanan. Apabila ada merak yang terindikasi sakit, seperti mengeluarkan lendir dari paruhnya, Surat segera mengobatinya. "Saya membeli obatnya di Caruban," ujarnya kepada Tempo.
Untuk membeli pakan merak, Surat mengeluarkan uang antara Rp 800 ribu - Rp 900 ribu per bulan. Duit itu merupakan sebagian dari penghasilannya sebagai buruh tani dan beternak ayam. Apabila kepepet, Surat merelakan kambingnya dijual untuk membeli pakan merak.
Penangkaran merak yang dilakukan Surat berlangsung sejak 1998, atau berawal saat dia mencari rumput pakan kambing di hutan wilayah Resor Pemangkuan Hutan Sampung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Caruban, Kesatuan Pemangkuan Hutan Saradan.
Pulang mencari rumput ia menemukan empat butir telur dengan diameter sekitar lima sentimeter. Telur-telur itu lalu dibawa pulang. Sesampai di rumah, telur itu dimasukkan ke kandang ayam agar ikut dierami. Sekitar tujuh hari berselang, telur menetas, terdiri dari dua jantan dan dua betina. Beberapa waktu kemudian dua pasang merak ini kawin dan menghasilkan telur masing-masing empat.
Seiring berjalannya waktu, merak milik Surat rutin bertelur di antara bulan Agustus, September, dan Oktober setiap tahunnya. Telur itu merupakan hasil perkawinan indukan merak yang masih sekerabat (inbreeding). Menurut Surat, dari sekitar 150 telur, tak lebih dari 70 telur yang berhasil menetas dan tumbuh menjadi merak dewasa. "Banyak yang mati," ujarnya.
Joko Dwiyono, salah satu petugas Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah I Madiun mengatakan burung hasil inbreeding umumnya rentan penyakit dan gampang mati. "Agar penangkaran merak yang dilakukan Pak Surat bisa lebih berhasil, maka perlu pertukaran indukan dengan penangkar lain," ujarnya.
NOFIKA DIAN NUGROHO