TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 sebesar 5,02 persen dipengaruhi oleh sejumlah faktor. "Di antaranya inflasi dan perbankan," ujar Tony dalam acara Economy and Business Outlook 2015 di Hotel Ritz-Carlton Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Tony mengatakan inflasi Indonesia pada 2014 sangat tinggi, yakni 8,36 persen. Akibat inflasi yang tinggi, BI Rate pun naik dan suku bunga ikut tinggi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat. Demikian pula laju pertumbuhan kredit yang hanya 12 persen. "Ini membuat kredit perbankan tumbuh tidak signifikan," ujar Tony.
Selain itu, menguatnya dolar Amerika juga ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini kondisi perekonomian Amerika Serikat mulai membaik setelah menurun pada Mei 2013. Hal tersebut terlihat dari beberapa faktor. Pertama, jumlah penganggur di Amerika berkurang. Saat ini jumlah penganggur di Negeri Abang Sam hanya sekitar 5,6 persen dari total warga, padahal sebelumnya di atas 10 persen.
Kedua, aktivitas penjualan mobil di Amerika mulai kembali bergairah. Saat perekonomian Amerika memburuk pada 2009, angka penjualan mobil anjlok 9 juta unit per tahun. Sedangkan sekarang penjualan sudah pulih dengan angka di atas 18 juta unit per tahun. "Faktor ini yang menyebabkan perekonomian mereka membaik dan dolar menguat," katanya.
Menguatnya dolar Amerika ini, menurut Tony, sebenarnya tidak hanya berdampak bagi rupiah, tapi juga mata uang negara lain. Karena itu, Tony menilai wajar bila pemerintah menargetkan nilai tukar rupiah 12.500 per dolar AS pada 2015. "Masyarakat jangan berpikir lagi nilai tukar akan Rp 9 ribu atau Rp 10 ribu," katanya. Nilai tukar rupiah pada tahun ini tidak akan jauh dari angka Rp 12 ribu karena masih harus menyesuaikan dengan perekonomian global dan menguatnya dolar Amerika.
ODELIA SINAGA