TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Anti-Mafia Hutan bersama Forest Trends meluncurkan laporan yang menunjukkan konsumsi kayu berlebih oleh industri kehutanan selama 14 tahun terakhir. Tak tanggung-tanggung, menurut laporan tersebut jumlahnya mencapai 30 persen—atau sekitar 219 juta meter kubik—dari jumlah seluruh pasokan kayu nasional tak tercatat oleh Kementerian Kehutanan.
“Kelebihan tersebut didapat dari kayu ilegal, yang diduga diambil dari hutan alam,” kata Grahat Nagara, juru bicara Koalisi, dalam konferensi pers di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 17 Februari 2015.
Laporan ini berjudul Indonesia’s Legal Timber Supply Gap and Implication for Expansions of Milling Capacity. Laporan ini merupakan hasil perbandingan antara data persediaan kayu dari Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan data volume produksi yang dilaporkan pihak industri kehutanan.
Artinya, Grahat beranggapan, negara menanggung rugi yang cukup besar. Tak hanya itu, menurut dia, laporan ini menggambarkan ancaman bagi kelestarian hutan alam Indonesia. “Praktik tebang habis hutan alam masih terjadi,” ujarnya. Padahal, pemerintah mensyaratkan praktek tebang pilih untuk pengelola hutan tanam industri (HTI).
Koalisi dan Forest Trends pun sempat menghitung kerugian negara tersebut. Dalam laporannya mereka menulis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak terserap negara setidaknya mencapai US$ 250 juta, atau setara dengan Rp 3 triliun per tahunnya. Sebesar Rp 1,9 triliun pendapatan negara dari provinsi sumber daya hutan (PSDH) per tahunnya, menurut laporan yang sama, juga akan sirna.
Jika dihitung total sejak tahun 1991, kata Grahat, potensi kerugian negara mencapai Rp 55 triliun. Nilai total kerugian akan jauh lebih tinggi jika memasukkan perhitungan penggantian nilai tegakan (PNT) saat membuka lahan.
Meski begitu, laporan ini tidak menyebutkan daftar perusahaan ‘bandel’ tersebut. Alasannya, bukan hal tersebut yang ingin ditampilkan. Melainkan jumlah penggunaan yang semakin tinggi.
Grahat mengatakan jumlah tersebut kemungkinan besar akan bertambah mengingat jumlah pabrik kertas dan pulp di Indonesia yang cukup banyak. Investasi pabrik baru, menurut dia, akan menggandakan pasokan kayu untuk memenuhi permintaan. Dalam laporannya, Koalisi dan Forest Trends menghitung kenaikan penggunaan kayu akan mencapai 59 persen.
Kurangnya ketersediaan kayu legal tak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tapi juga menyebabkan industri akan terus bergantung dari persediaan kayu hutan alam. Lebih parah lagi, jumlah konversi hutan alam semakin bertambah. Kementerian Kehutanan pernah mencatat bahwa industri memasok kayu dari konversi hutan sampai dua kali lipat lebih besar dari penebangan di HTI dan HPH.
Karena beberapa fakta tersebut, Koalisi dan Forest Trends meminta Kementerian LH dan Kehutanan untuk merevisi strategi pembangunan kehutanan dan Peta Jalan Revitalisasi Industri Kehutanan. Selain itu, Grahat mengatakan, Kementerian juga harus menerbitkan tiga hal, yakni melarang peningkatan kapasitas pengolahan, tidak menambah izin baru industri kehutanan, dan meningkatkan produktivitas HTI.
AMRI MAHBUB