TEMPO.CO, Bayuwangi -Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas mengatakan penyelidikan ulang tragedi pembunuhan "dukun santet" di Banyuwangi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia belum terlalu penting. "Belum urgen. Tapi barangkali Komnas HAM punya argumentasi lain," kata Bupati Azwar Anas, Rabu, 18 Februari 2015.
Menurut Anas, saat ini trauma korban pembantaian orang-orang yang dituduh dukun santet pada 1998-1999 sudah mulai berkurang. Sentimen di tengah masyarakat juga telah berubah. Anas melihat peristiwa berdarah itu berakar pada peroalan kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah Banyuwangi lebih mendorong pada peningkatan kesejahteraan.
"Saya pidato banyak, tapi warganya masih miskin. Ya, tidak akan berpengaruh," ujar dia. Meski menilai belum penting, Anas mendukung langkah Komnas HAM. Saat ini, katanya, juga momen yang tepat untuk rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban.
Bekas anggota tim investigasi tragedi dukun santet Nahdlatul Ulama, Abdillah Rafsanjani, mengatakan keluarga korban masih trauma. Banyak dari mereka yang memilih menyingkir dari kampungnya. "Keluarga korban memilih diam, karena mendapat stigma sebagai keturunan dukun santet," ujar dia.
Keluarga korban sendiri berharap Komnas HAM bisa menyeret dalang utama pembantaian yang disebut-sebut menewaskan 119 orang itu. "Kakak saya dan keluarganya bukan dukun santet," kata Abdullah, 90 tahun, salah satu keluarga korban.
Abdullah kehilangan tiga anggota keluarganya pada peristiwa itu, yakni kakak kandungnya, Arifin, beserta Husaini (istri), dan anaknya, Misdi. Keluarga Arifin dibantai massa berpakaian ala ninja karena dituduh tukang tenung alias dukun santet. Ketiga korban dibantai dengan keji menggunakan kayu, batu dan pisau. "Kepala Husaini dipukul dengan batu besar," kata Abdullah sambil menangis.
IKA NINGTYAS