TEMPO.CO , Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan menilai wacana merger dua bank pelat merah, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, tidak bisa direalisasikan dalam waktu cepat.
"Kalau bisa ini (merger) ditahan, melihat kesiapan dari masing-masing, misalnya untuk lima tahun ke depan ke sana mungkin bisa saja. Tapi kalau dalam waktu dekat saya rasa jangan," ujar Haryajid saat diskusi dengan wartawan di Jakarta, Rabu, 18 Februari 2015.
Menurut Haryajid, melihat kondisi perbankan nasional saat ini, yang diperlukan bukan konsolidasi antarbank, melainkan konsolidasi internal dari bank itu sendiri.
Ia menuturkan, benefit yang akan diperoleh baik BNI, Mandiri, atau pemerintah, selaku pemilik kedua bank besar, relatif minim, tapi justru memiliki potensi biaya yang besar.
"Kalau dibilang mudharat tidak juga, cuma benefit (dari merger) tidak sebesar yang diharapkan," katanya.
Haryajid mengatakan, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN sebaiknya memperhitungkan kembali dengan cermat untung-rugi penggabungan Mandiri-BNI.
"Tolong dikalkulasi lagi, jangan sampai kita menyesal. Kalau sudah terjadi (baru menyesal), maka sayang sekali," ujar dia.
Haryajid menilai dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tidak menutup kemungkinan kedua bank tersebut untuk maju dan bersaing dengan bank-bank asing, kendati modal yang dimiliki masih relatif kecil dibandingkan bank asing.
Baik BNI maupun Mandiri juga sebenarnya dapat berbagi peran dalam melakukan fungsi intermediasi perbankan dengan memiliki fokus bisnis yang berbeda.
Wacana merger BNI-Mandiri mencuat sejak tahun lalu dan sudah menjadi pembicaraan hangat. Merger tersebut diharapkan membuat bank hasil penggabungan keduanya dapat bersaing di kawasan ASEAN 2015 dan ABIF 2020.
ANTARA