TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan pemerintah akan tetap mengeksekusi terpidana mati asal Brasil yang menderita gangguan jiwa, Rodrigo Gularte. Menurut hasil observasi dokter, pria 42 tahun itu menderita gangguan jiwa sejak usia 16 tahun.
"Tidak ada aturan yang melarang eksekusi terpidana mati yang mengidap gangguan jiwa," kata Prasetyo di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 20 Februari 2015.
Menurut Prasetyo, yang tidak diperbolehkan dieksekusi hanya wanita hamil dan anak di bawah usia 18 tahun. Soal jadwal eksekusi, Prasetyo belum menentukan waktunya. "Banyak aspek yang harus dilihat. Kalau persiapan sudah matang, kami akan eksekusi," ujarnya.
Dari hasil pemeriksaan kejiwaan pada 2 Februari 2015, dokter menyimpulkan bahwa Rodrigo mengidap gangguan mental kronis. Adapun diagnosis dokter menyebutkan Rodrigo menderita paranoid schizophrenia dan gangguan bipolar dengan ciri psikis.
Karena itu, tim dokter menyarankan Rodrigo segera mendapat perawatan dan pengobatan psikiatri intensif di rumah sakit jiwa. Namun tampaknya Prasetyo bergeming. Saat ditanya apakah Rodrigo akan tetap dieksekusi, dia menjawab seraya tersenyum, "Kita lihat saja nanti."
Rodrigo diperkirakan menjadi satu dari sepuluh terpidana mati yang akan menjalani eksekusi mati gelombang kedua. Sembilan sisanya antara lain Mary Jane Fiesta asal Filipina, Serge Areski Atlaoui (Prancis), Martin Anderson (Ghana), serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan (Australia).
Eksekusi terpidana mati gelombang pertama sudah dilakukan pada Ahad, 18 Januari 2915. Enam terpidana, yakni Marco Archer Cardoso, Ang Kiem Soei alias Tommy Wijaya, Rani Andriani alias Melisa Aprilia, Namaona Denis, Daniel Enemuo, dan Tran Thi Bich Hanh, telah ditembak mati.
DEWI SUCI RAHAYU