TEMPO.CO, Jakarta - Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengatakan jarang tertawa selama sebulan ini. Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ini diberi tanggung jawab memimpin lembaganya yang sedang berkonflik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Jumat, 13 Februari 2015, ia datang ke kantor redaksi Tempo di Kebayoran, Jakarta, “agar bisa tertawa-tawa”.
Badrodin ditemani, antara lain Asisten Logistik Inspektur Jenderal Arif Wachjunadi dan juru bicara Inspektur Jenderal Ronnie Sompie. Ia menjawab tuduhan adanya teror terhadap pemimpin dan pegawai komisi antikorupsi yang diarahkan ke anggotanya. “Jangan parno lah,” kata Badrodin menyebut bahasa gaul paranoia itu.
Baca Juga:
Bukankah surat penggeledahan untuk pimpinan KPK sudah terbit?
Kan itu hal biasa, ada penyitaan. Salinan, bukan aslinya, satu sebuah surat yang bisa dikasih. Dia minta daftar riwayat hidup juga kami kasih. Tidak perlu digeledah. Itu aja sebenarnya. Apa itu penggeledahan, kan tidak. Kebetulan di situ ada unjuk rasa, dan buruh dari Istana ke sana, ada satu kelompok yang kontra dengan kelompok ini, kan ini bahaya.
Kalau sampai terjadi bentrok, sama yang disalahkan, kan polisi lagi. Untuk tidak ambil resiko, kan pasti polisi kasih pengamanan yang lebih banyak. Saya diteleponin tokoh-tokoh. Nah itu contohnya seperti itu. Nanti jalan-jalan di mal, ada polisi, wah ini saya diikutin. Kan tidak seperti itu.
Hubungan Mabes Polri dengan penyidik KPK seperti apa?
Penyidik KPK di bawah pembinaan Kabareskrim. Beberapa bulan sekali ada pertemuan yang dilakukan oleh Kabareskrim. Itu yang berlaku selama ini. Jangan sampai mereka melupakan bahwa masih menjadi anggota Polri. Pembinaan di KPK mungkin tidak terlalu disiplin dan sebagainya. Tapi kan tetap menjadi tanggung jawab pimpinan.
Oleh karena itu, Kabareskrim juga harus memperhatikan mereka, ada keluhan apa. Harus ditampung juga, oh ini pengin sekolah, ini pengin ini itu. Kalau tidak ada pembinaan, bagaimana. Enggak bisa naik pangkat juga kalau dibiarkan saja. Ada pertemuan rutin, tiga bulan sekali kalau tidak salah. Kalau misalnya tidak ada koordinasi, tiba-tiba naik pangkat kan ya masalah, kami kan enggak mengerti juga kinerjanya.
Ditawarin keluar, nanti dimasukkan ke Sespim, misalnya?
Enggak juga. Kan yang seperti itu, ada persyaratannya. Yang ikut Sespim sekarang ini, masa pangkatnya apa, dinas perwiranya berapa lama, jadi gak semua bisa masuk Sespim. Dan dia harus mengikuti tes. Kalau enggak ikut tes, di luar struktur, minta prioritas juga. Akhirnya enggak ada tes, kan enggak bisa juga seperti itu. Di luar struktur, kan juga ada di Lemhanas, Polhukam, dan BNPT. Oleh karena itu, pembinaan mereka tetap harus ada.
DEWI SUCI RAHAYU | SUNUDYANTORO