TEMPO.CO, Kobe, Jepang - Tidak lama setelah gempa berkekuatan 7,3Skala Richter melanda Kota Kobe, Prefektur Hyogo, Jepang, pada 1995, atau dikenal dengan istilah Great Hanshin-Awaji Earthquake, pemerintah Kota Kobe dan masyarakat setempat membentuk BOKOMI (Bosai Fukushi Komyunithi) atau komunitas tanggap dan siaga bencana. Saat ini, organisasi masyarakat yang dibina Biro Pemadam Kebakaran Kote Kobe itu berjumlah 191 komunitas.
"Di luar Jepang, Bokomi baru dibentuk di Indonesia," kata Nobuhito Ohtsu, Fire Lieutenant, Kobe City Fire Bureau, di kantornya, akhir pekan ini. "Karena pemerintah Indonesia memiliki pendanaan untuk komunitas ini."
Bokomi di Indonesia yang dimaksud Ohtsu didirikan di Kampung Badran Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta pada Desember 2010. Kampung padat penduduk ini dianggap sangat sadar dan tanggap bencana, terutama setelah Yogyakarta dilanda gempa besar pada 2006 dan letusan Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010. Gempa Yogya pada 2006, misalnya, sedikitnya telah merenggut 6 ribu nyawa.
Bukan sekadar belajar berbagai upaya penanganan bencana, masyarakat Badran juga rela menyediakan sebuah ruang terbuka di tengah-tengah kampungnya sebagai tempat evakuasi jika terjadi bencana. Masyarakat Badran juga melengkapi Bokomi di Badran, yang belakangan dikenal dengan nama BOKOMI 192, dengan kereta pemadam kebakaran yang desainnya dibantu pihak UGM dan Kobe Fire Bureau dan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Yogyakarta.
Di Kobe sendiri, Bokomi dibentuk sebagai simbol bagi masyarakat untuk selalu siaga menghadapi gempa. Dahsyatnya gempa Kobe pada 1995 menjadi pelajaran bagi masyarakat Kobe akan pentingnya kewaspadaan dan kesiagaan terhadap bencana gempa yang setiap saat bisa melanda kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu.
Ketika gempa melanda Kobe dan wilayah sekitarnya pada 1995, pemerintah setempat mencatat sedikitnya 6.434 orang tewas, 43.792 orang luka, dan sedikitnya 249.180 bangunan hancur termasuk pemukiman warga, bangunan tinggi perkantoran, infrastruktur kereta api, dan jalan tol. Sekitar 7.386 bangunan terbakar. Empat belas menit setelah gempa, sedikitnya ada 54 titik api di wilayah Kobe. Ada sedikitnya 164 ribu orang yang terjebak, tapi belakangan berhasil diselamatkan. Total kerugiaan saat itu ditaksir mencapai 7 triliun yen atau setara Rp 700 triliun.
Menurut hasil riset Biro Pemadam Kebakaran Kota Kobe, polisi dan petugas pemadam kebakaran kota yang diterjunkan ketika itu hanya mampu menyelamatkan 22,5 persen penduduk. Adapun 77,5 persen penduduk yang selamat ditolong oleh keluarga, tetangga, dan anggota komunitas masyarakat yang ada saat peristiwa itu terjadi.
Belajar dari pengalaman itu, pemerintah setempat, kata Ohtsu, menyadari akan pentingnya keterlibatan masyatakat dalam penanganan bencana, khususnya gempa. Bokomi, kata Ohtsu, kemudian mengembangkan tiga prinsip dasar penanganan bencana. Prinsip pertama, menurut Ohtsu, penguatan warga dan komunitas untuk bisa melakukan pertolongan pertama di saat bencana. Prinsip dasar kedua, yang juga tidak kalah pentingnya, kata dia, adalah peningkatan kompetensi petugas yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap penangan bencana. "Ini prinsip dasar yang melatarbelakangi kami membentuk BOKOMI," kata Ohtsu.
Pemerintah Kota Kobe memberikan dukungan kepada BOKOMI, antara lain, dalam bentuk subsidi pendanaan aktivitas komunitas ini termasuk untuk pelatihan, peralatan, dan pertemuan. BOKOMI di setiap distrik atau kecamatan mendapatkan dana subsidi 140 ribu yen. Ada juga model pendanaan melalui jalur proposal senilai 200 ribu yen. "Untuk pendanaan, seleksi dilakukan secara ketat," kata Ohtsu.
Dia mengakui keberadan BOKOMI belum sepenuhnya diterima masyarakat Kobe. Sejauh ini, kata dia, BOKOMI baru sebatas diminati kaum lanjut usia dan masih kurangnya kesadaran warga terhadap aktivitas BOKOMI. Dalam dua sampai tiga tahun terakhir, BOKOMI mulai melibatkan pelajar dan mahasiswa.
ANTON APRIANTO (KOBE)