TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menjawab permintaan keluarga para terpidana mati kasus narkoba yang menyatakan membutuhkan waktu lebih untuk bertemu dengan mereka. Jawaban itu berupa penundaan pemindahan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan hingga waktu yang belum ditentukan. "Penundaan ini bukan karena adanya tekanan dari negara-negara asal terpidana," kata Prasetyo ketika dihubungi Tempo, Ahad, 22 Februari 2015.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan menunda pemindahan sepuluh terpidana mati ke LP Nusakambangan karena sejumlah pertimbangan teknis. Di antaranya LP Nusakambangan belum siap menerima terpidana lebih dari lima orang dan adanya terpidana yang sakit jiwa. Meski begitu, Kejaksaan memastikan eksekusi gelombang kedua tidak akan dibatalkan.
Masih bergemingnya Indonesia ihwal pelaksanaan eksekusi mati memicu reaksi keras dari sejumlah negara. Australia, misalnya, meminta Indonesia membatalkan eksekusi dua warganya sebagai balas jasa atas bantuan tsunami Aceh 2004. Contoh lain, pemerintah Brasil menolak Duta Besar Indonesia untuk Brasil Toto Riyanto pada hari penerimaannya sebagai bentuk protes.
Prasetyo mengungkapkan, penundaan dilakukan karena dia merasa permintaan keluarga tak bisa begitu saja diabaikan. Menurut dia, karena pembatalan eksekusi mati tak mungkin dilakukan, yang paling mungkin diberikan Kejaksaan kepada mereka hanyalah perpanjangan waktu bertemu dengan para terpidana via penundaan eksekusi.
Prasetyo menambahkan, penundaan ini juga merupakan bentuk empati Kejaksaan. Ia mengaku membayangkan susahnya upaya warga Indonesia bertemu dengan anggota keluarga mereka yang menjadi terpidana mati di luar negeri. "Dua ratus lebih WNI terancam di luar negeri. Kalau diabaikan rasanya, kan, enggak enak juga."
Penundaan ini mendapat reaksi positif dari Dolly James selaku kuasa hukum dua terpidana mati anggota sindikat narkotik Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Penundaan ini, kata James, memberikan waktu kepada dia untuk berfokus pada gugatan tata usaha negara yang dilayangkan kliennya kepada Presiden Jokowi.
"Penundaan juga memberi waktu bagi keluarga untuk bertemu dengan Andrew dan Myuran. Saya sendiri belum benar-benar lega atas penundaan ini sebelum ada kepastian hukum," kata Dolly kepada Tempo.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyarankan Kejaksaan Agung untuk tidak mengulur pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua. Penundaan diyakini akan menambah beban Presiden Joko Widodo yang sudah banyak. "Semakin lama menunda, semakin banyak tekanan dari luar negeri yang dihadapi," katanya.
Hikmahanto melanjutkan, sudah terlalu banyak manuver politik dari negara asal terpidana sebelum pemindahan terpidana ditunda. Jika eksekusi terus ditunda, manuver-manuver itu bisa mengganas dan negara lain bisa ikut bermanuver. "Kejaksaan tak perlu takut melakukan kewajiban karena ada dukungan dari publik dan politikus," kata Hikmahanto.
ISTMAN M.P.