TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengaku prihatin atas adanya penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari kelompok etnis atau agama berbeda. Menurut Lukman, penolakan itu menunjukkan rendahnya tingkat komitmen masyarakat terhadap kemajemukan yang ada di Indonesia.
"Seharusnya, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, demokrasi berarti harus mengakui kepemimpinan dari kalangan mana pun," kata Lukman dalam seminar Fikih dan Tantangan Kepemimpinan dalam Masyarakat Majemuk di Cikini, Selasa, 24 Februari 2015.
Lukman mengatakan kepemimpinan yang bisa berasal dari semua kalangan sudah diatur dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945, ujar Lukman, jelas menyebut bahwa segenap warga negara berhak mendapat hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya tanpa diskriminasi.
Lukman mencontohkan masih banyak orang yang tidak bisa menerima kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dan Lurah Susan karena tidak beragama Islam. Penolakan tersebut bahkan dapat berujung pada kekerasan. "Umat Islam harus menggali lagi bagaimana Rasulullah mengatur dan memimpin dalam masyarakat yang majemuk," kata Lukman yang juga putra dari KH Saifuddin Zuhri, mantan menteri agama di era Presiden Soekarno.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif juga menyoroti sikap diskriminasi yang masih marak di sebagian masyarakat. Menurut Syafii, diskriminasi kelompok mayoritas dan minoritas masih terlihat jelas dalam masyarakat Indonesia. "Sering terjadi penolakan yang kuat dengan justifikasi agama jika seorang nonmuslim memimpin di daerah mayoritas muslim atau sebaliknya," ujar Syafii.
Syafii meminta kepada kelompok mayoritas untuk meningkatkan kualitas dengan tidak gampang berprasangka buruk pada kelompok minoritas. Khususnya umat Islam, kata Syafii, harus lebih berpikiran terbuka dan tidak mudah dihasut oleh orang-orang yang ingin memperkeruh persatuan di Indonesia.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA