TEMPO.CO, Bangkalan - Apa yang terbesit di benak polisi ketika mendengar nama Kampung Rabesen? "Itu kampung narkoba," Wakil Kepala Kepolisian Resor Bangkalan Komisaris Yanuar Herlambang menjawab cepat kepada Tempo, Januari 2015.
Julukan 'kampung narkoba' untuk Rabesen bukan tanpa alasan. Kata Yanuar, jika polisi berhasil menangkap 20 pengedar narkoba misalnya, 10 hingga 15 di antaranya merupakan warga Rabesen. "Mayoritas warga di sana terlibat bisnis sabu," kata dia.
Alasannya klasik, masalah ekonomi. Bagi mereka berjualan sabu lebih mudah mendatangkan duit ketimbang bekerja sebagai kuli tambang batu kapur galian C. "Jualan sabu bisa dapat Rp 300 ribu sehari, kalau jadi kuli batu, sehari hanya dapat Rp 70 ribu," katanya.
Bagaimana sebenarnya bisnis sabu ini dijalankan? Ahad, 21 Februari 2015, Tempo mengunjungi kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer arah tenggara Kota Bangkalan itu. MSL, 27 tahun, salah seorang pengedar menuturkan, "Tidak hanya sabu, di sini juga tempat judi togel dan sabung ayam."
Pusat narkoba di Rabesen, kata dia, terpusat di Dusun Tapel. Jalan utama menuju dusun ini terletak tepat di seberang Masjid Rabesen. Jalannya mulus beraspal, bisa dilintasi roda dua dan empat. Jalan sepanjang kurang-lebih satu kilometer ini tembus ke Desa Meragung, Kecamatan Labang.
Setelah berjalan sekitar 500 meter dari Masjid Rabesen, sebuah rumah mewah bergaya Eropa lengkap dengan gazebo di halaman yang luas. Makin ke dalam, makin jarang dijumpai rumah 'jelek'. Hampir di setiap halamannya terparkir mobil mewah dan sepeda motor sport seharga di atas Rp 40 juta.
Narkoba sepertinya telah mengubah wajah dusun terpencil yang dikelilingi pesawahan itu, serta meningkatkan taraf ekonomi warganya. "Tapi sekarang, narkoba bukan dominasi Tapel lagi. Bandar dan pengedar menyebar ke beberapa desa seperti Parseh, Sanggra Agung, Mor Embong, hingga Jaddih," kata MSL.
Gaya berjualan sabu di kampung narkoba tidak sama dengan tempat lain. Meski hanya pengedar, mereka menyulap rumah mereka sebagai bilik nyabu bagi para tamu. "Keuntungannya dua kali, pertama dari jual sabu, kedua dari menyewakan bilik," ujar MSL.
Dia menuturkan, bilik nyabu itu disediakan agar sabunya cepat laku. Kalau sudah dalam bilik, kebanyakan pelanggan akan minta tambah, hingga uang mereka habis. MSL mengaku pelanggannya kebanyakan dari luar Bangkalan, khususnya Surabaya. "Tapi saya ini belum sukses karena selain jual kadang makai juga, kalau yang sukses itu hanya jual tidak makai, cepat kaya," tuturnya.
Memang agak sulit mengenali mana pengedar dan yang bukan pengedar. Dalam keseharian, penampilan mereka sama. Mayoritas memakai sarung dan kopiah hitam. Kata MSL, supaya jualan sabunya aman, mereka harus rajin kasih "uang rokok" kepada tetangga dan warga sekitar.
Menurut Komisaris Herlambang peredaran sabu di Bangkalan sudah pada taraf sangat memprihatinkan. Data menyebutkan, sepanjang Januari hingga Februari 2015, dari total 49 pelaku kejahatan yang ditangkap, 20 di antaranya merupakan pengedar dan bandar narkoba. Bahkan dua di antaranya berstatus pelajar dan ibu rumah tangga. "Tren kejahatan narkoba meningkat dibanding periode yang sama tahun 2014," ucapnya.
Penangkapan pelaku kejahatan narkoba, lanjut Herlambang, hanya berdampak kecil bagi pemberantasan narkoba di Bangkalan. Perlu kerja sama semua pihak, khususnya pemerintah daerah untuk memberantas peredaran narkoba. "Pemda harus berperan memberi penyadaran kepada warga di kampung narkoba, bahwa banyak jenis usaha untuk menjadi sumber penghasilan."
MUSTHOFA BISRI