TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Golkar, Yorrys Raweyai, mengaku merugi akibat kebijakan moratorium perizinan kapal eks-asing yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Menurut dia, sekitar 40 kapal buatan Cina yang beroperasi di bawah empat perusahaan miliknya kini menganggur di Timika, Papua. "Bayangkan itu sejak November tidak jalan. Ini merugikan," kata Yorrys kepada Tempo, Selasa malam, 3 Maret 2015.
Sebelumnya, dalam rapat dengan Badan Anggaran pada Januari 2015, Menteri Susi sempat menyebut nama Yorrys sebagai salah satu pengusaha kapal perikanan. Kala itu dia mengeluhkan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perusahaan-perusahaan perikanan yang hanya sekitar Rp 300 miliar per tahun.
Yorrys membenarkan selama ini dia ikut berbisnis perikanan. Empat perusahaannya berpangkalan di Sorong, Papua, yakni PT Minatama Mutiara, PT Ombre Lines, PT Anugrah Bahari Berkat Abadi, dan PT Chindo Zhengyang Mina Anugerah. "Chindo ini perusahaan penanaman modal asing," kata Yorrys, yang juga membenarkan seluruh armadanya adalah eks-Cina.
Yorrys mengaku mendukung kebijakan moratorium perizinan kapal eks-asing yang diterbitkan Menteri Susi. Namun, dia mengingatkan agar Kementerian tak hanya memberikan terapi kejut, tapi juga menyiapkan solusi. "Terutama pasca moratorium, ini mau bagaimana?" kata Yorrys yang mengaku telah bertemu Susi pertengahan bulan lalu.
Kepada Tempo, Menteri Susi berulang kali menegaskan niatnya untuk membersihkan perairan Indonesia dari armada perikanan eks-asing. Susi hakulyakin kapal-kapal buatan luar negeri selama ini menjadi kedok pencurian ikan. Sebab, kata dia, sebagian besar kapal tersebut masih milik juragan di luar negeri meski telah berbendera Merah Putih dan tercatat sebagai milik pengusaha Indonesia.
Laporan investigasi Majalah Tempo edisi Senin, 23 Februari 2015, menguatkan dugaan tersebut. Sejak berlakunya moratorium, sedikitnya 262 kapal eks-asing dari total 700-an kapal yang selama ini beroperasi di ZEE Arafura dan Natuna lenyap, pergi tak kembali. Tempo menelusuri kapal-kapal tersebut di Thailand dan Cina, dua negara yang paling banyak mengekspor kapal perikanan.
Hasilnya, kapal-kapal bernama lambung khas Indonesia memenuhi pelabuhan negeri gajah putih, seperti di Samut Sakhon, Samut Prakan, dan Songkhla. Semua kapal telah berganti bendera Thailand. Sebagian lainnya bahkan dicat ulang. "Kalau memang kapal itu milik Indonesia, mengapa mereka kabur?" kata Susi.
Yorrys membantah perusahaan dan armada perikanan miliknya hanya menjadi broker perizinan. "Semua kapal itu ada izinnya lengkap," kata dia.
AGOENG WIJAYA | TIM INVESTIGASI TEMPO