TEMPO.CO, Seoul - Majelis Nasional Korea Selatan telah mengesahkan Undang-Undang Anti-Korupsi yang kontroversial pada Selasa, 3 Maret 2015. Pengesahan undang-undang itu terjadi setelah melalui perdebatan panjang mengenai apakah undang-undang akan melanggar hak konstitusional individu.
Undang-undang yang disebut Kim Young-ran ini diusulkan oleh mantan Kepala Anti-Korupsi dan Komisi Hak-hak Sipil pada Juni 2011. Dengan undang-undang baru ini, pejabat publik, wartawan, dan pengajar di sekolah pemerintah dapat dikenai hukuman tiga tahun penjara.
Selain itu, pelaku korupsi dapat dikenakan denda lima kali lipat dari nilai jumlah barang atau uang yang diterima jika barang atau uang yang diterima senilai lebih dari 1 juta won (US$ 908) atau setara Rp 11,77 juta terkait pekerjaan mereka.
“Kami menghormati keputusan yang diambil oleh Majelis Nasional,” kata juru bicara presiden, Min Kyung-wook, kepada wartawan setelah tiba di Riyadh, seperti dilansir The Korea Times, Selasa, 3 Maret 2015.
Dia juga berharap undang-undang anti-korupsi itu dapat membantu pemerintah memberantas korupsi secara menyeluruh.
Fraksi-fraksi di parlemen Korea Selatan juga menyetujui undang-undang tersebut akan berlaku 18 bulan sejak disahkan. Undang-Undang Anti-Korupsi itu disusun untuk memperketat celah dalam aturan sebelumnya di mana pejabat publik tidak dapat dihukum karena menerima hadiah atau barang bernilai kecuali ada bukti timbal balik.
Dengan klausul yang baru, kelompok-kelompok warga sipil menyatakan harapan undang-undang akan memutus rantai korupsi di kalangan pejabat sehingga pemerintahan bisa lebih transparan.
Menurut Transparency International, lembaga pemerhati masalah korupsi, Korea Selatan naik tiga peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi pada Desember 2014, yang menempatkan negara itu di posisi ke-43 dari 175 negara. Nilai yang diperoleh Korea Selatan cukup tinggi, yaitu 55 dari 100, yang berarti tingkat korupsi tergolong rendah.
THE KOREA TIMES | ROSALINA