TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, menilai banyaknya tersangka korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengajukan gugatan praperadilan merupakan terobosan hukum baru terhadap pemahaman Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menurut dia, sebagai salah satu pimpinan di lembaga eksekutif, tak bisa memerintahkan lembaga yudikatif atau Mahkamah Agung menghentikan maraknya gugatan praperadilan itu. "Nanti saja perbaikan KUHAP," kata Yasonna di Istana Negara, Rabu, 4 Maret 2015.
Munculnya gelombang pengajuan gugatan praperadilan dalam penetapan tersangka oleh tersangka korupsi bermula dari aksi Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang memenangkan gugatannya di Pengadlan Negeri Jakarta Selatan. Budi ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi di Polri.
Setelah kemenangan Budi, kemudian berturut-turut sejumlah tersangka KPK ikut mengajukan gugatan praperadilan. Mereka di antaranya tersangka kasus dugaan korupsi anggaran haji Suryadharma Ali, dan tersangka kasus korupsi anggaran di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Sutan Bhatoegana.
Namun, Yasonna mengatakan, memperbaiki KUHAP bukan berarti menyarankan pihak lain melakukan uji materi terhadap Pasal 77 KUHAP agar menambah obyek praperadilan termasuk penetapan tersangka. "Tidak ada kaitannya, karena ini urusan pengadilan yang membuat terobosan baru soal KUHAP," ujarnya.
Dia mencontoh pada 2007, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan jaksa dalam kasus pembunuhan aktivis Munir Thalib. Padahal, Pasal 263 KUHAP menyebutkan yang boleh mengajukan permohonan PK hanya terdakwa dan ahli warisnya, bukan jaksa. "Artinya, ada terobosan dan penemuan seperti itu."
REZA ADITYA | BC