TEMPO.CO, Jakarta - Senior analis LBP Enterprise, Lucky Bayu Purnomo, mengatakan adanya pelemahan rupiah saat ini membuat utang luar negeri naik. Dia memperkirakan utang luar meningkat sekitar 3,5-5 persen akibat depresiasi rupiah.
"Utang Indonesia masih didominasi transaksi ekspor impor bulan ini dan mitra dagang memakai dolar," kata Lucky saat dihubungi, Kamis, 5 Maret 2015.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia pada triwulan IV 2014 mencapai US$ 292,6 miliar. Utang luar negeri sektor publik (pemerintah) US$ 129,7 miliar atau 44,3 persen dari total utang luar negeri, dan utang luar negeri sektor swasta US$ 162,8 miliar atau 55,7 persen dari total utang luar negeri.
Menurut Lucky, meningkatnya utang dalam bentuk dolar ini akan menekan laju surplus dari kegiatan transaksi ekspor-impor. Pelemahan rupiah akan berdampak negatif pada perusahaan Indonesia yang menggunakan mata uang asing dalam postur perdagangannya.
Dia memperkirakan rupiah akan meneruskan pelemahan setelah pemerintah membiarkan harga bahan bakar minyak naik Rp 200 beberapa waktu lalu. "Ini mencederai harapan pasar. Pasar sekarang tidak simpati tapi antipati pada perekonomian (pemerintahan)," kata Lucky.
Quantitative Analyst PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Reny Eka Putri mensinyalir Bank Indonesia sengaja membiarkan rupiah mengikuti mekanisme pasar. Pasalnya, keinginan BI mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen membuat otoritas moneter memprioritaskan upaya menggapai hal tersebut, dan agak menomorduakan persoalan nilai tukar.
“Saat ini mungkin kebijakan prioritas BI pada pertumbuhan ekonomi,” kata Reny.
Nilai tukar rupiah sepanjang perdagangan kemarin tertekan, bahkan sempat menyentuh titik terendah pada level 13.027 per dolar AS. Namun rupiah akhirnya ditutup stagnan pada level 12.990 per dolar AS.
ALI HIDAYAT