TEMPO.CO, Jakarta -Dalai Lama memberikan penghargaan melalui upaya personal beberapa umat Buddha di Indonesia. Salah satunya adalah yang mengupayakan pengakuan atas jasa Daoed Joesoef terhadap Borobudur. “Karena saya ingin umat yang sekarang bisa mengunjungi Borobudur dengan enak dan nyaman, juga tahu bagaimana perjuangan Pak Daoed,” ujar Melly Kiong, salah seorang penggagas usaha tersebut.
Tiga bulan lalu, bersama rekannya yang lain, Melly menyebarkan surat ke pusat-pusat agama Buddha di Thailand, Myanmar, dan beberapa negara lainnya, termasuk ke Tibet. Dalam surat itu, mereka menceritakan upaya Daoed menyelamatkan Candi Borobudur. Kantor Dalai Lama ternyata yang paling cepat memberikan respons atas surat tersebut.
Daoed sendiri tak menyangka bakal menerima penghargaan dari Dalai Lama.
Dan proses pemberian penghargaan ini bila ditarik pada sejarah lalu mengisahkan, bagaimana Daoed masih ingat perkenalan pertamanya dengan Candi Borobudur, yakni lewat buku pelajaran, saat menjalani sekolah menengah Belanda, MULO, di Medan, Sumatera Utara. Jaraknya dengan Borobudur semakin dekat ketika pada 1946 ia meneruskan pendidikan di Yogyakarta. Namun, karena masalah dana, niat untuk mengunjungi Borobudur harus dia pendam. “Tidak ada transportasi ke Borobudur. Dari Magelang sampai Borobudur itu harus naik dokar, dan itu mahal sekali,” ujar pria kelahiran Medan, 8 Agustus 1926, ini.
Baru pada 1953, ketika Daoed berkuliah di Jakarta, keinginannya berpelesir ke Borobudur kesampaian. Bersama sahabatnya yang kuliah di Universitas Gadjah Mada, ia bertandang ke sana. Tepatnya ketika bulan purnama. Sebab, dia sering mendengar bahwa Borobudur ramai dikunjungi wisatawan pada saat bulan bulat sempurna. Sampai di sana, ia mendapat peringatan yang tak mengenakan dari pedagang di situ. “Pemilik warung mengatakan, kalau ada gempa, cepat turun, takut roboh. Karena Borobudur sudah miring betul,” ujar Daud, mengingat peristiwa puluhan tahun silam itu.
Namun persoalan yang membuat dia prihatin adalah kondisi Borobudur yang luar biasa kotor. Kambing dan ayam dibiarkan berkeliaran di sekitar candi. Sampah daun dan tongkol jagung berserakan memenuhi gang-gang di dalam candi. Umat yang melakukan meditasi di candi pun campur-baur dengan anak-anak yang bermain bola atau muda-mudi yang nongkrong di sana. Namun, di luar suasana ruwet tersebut, Daoed merasakan kedamaian ketika berada di puncak stupa tertinggi. “Rasanya kita ada di dekat surga. Ini pertama kali saya jatuh cinta kepada Borobudur,” katanya.
Pada1964, Daoed melanjutkan studi ke Prancis, yang juga merupakan lokasi kantor United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Ia kemudian rajin mengikuti diskusi dan seminar yang diadakan oleh UNESCO. Dari diskusi ini, ia akhirnya tahu bahwa UNESCO menyediakan dana pemugaran untuk tempat atau situs yang diakui sebagai warisan dunia.
Daoed merasa inilah jalan keluar atas masalah Borobudur, dan melaporkannya kepada Duta Besar Indonesia di Prancis ketika itu, Djatikusumo. Langkahnya mentok ketika Kedutaan Besar menyebutkan tak ada perintah dari Jakarta. Tak menyerah, Daoed kembali bergumul dalam diskusi di UNESCO hingga Borobudur mendapat pengakuan sebagai warisan dunia. “Tapi debat kan terbatas, karena untuk pengajuan dana butuh jabatan formal, dan saya cuma mahasiswa saat itu,” ujarnya.
Keadaan mulai berubah ketika Jenderal Askari ditunjuk menjadi Duta Besar Indonesia di Prancis. Melalui Askari, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Mashuri, menunjuknya sebagai penasihat delegasi Indonesia di UNESCO. Bersaing dengan situs Mohenjodaro dari Pakistan dan Venesia dari Italia, Borobudur akhirnya menang dan mendapatkan dana tersebut. Pemugaran Borobudur dimulai pada 10 Agustus 1973.
Pulang ke Indonesia, pada 1978, ia ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Soeharto. “Kebetulan dana Borobudur cair, dan per definisi, pekerjaan restorasi tersebut di bawah kementerian saya,” ujar Daoed, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Borobudur pada Desember 2004.
RATNANING ASIH | HP