TEMPO.CO, Banten- Pemandangan Pantai Sawarna terkenal sangat indah. Tempat wisata yang berada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten ini, sertiap akhir pekan dan musim liburan sekolah banyak dikunjungi pelancong. Berikut ini laporan koresponden Tempo, Adi Warsidi, tetang Pantai Sawarna beberapa waktu lalu.
Sekitar pukul 16.00, saya akhirnya sampai di kampung wisata Cikaung, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Banten. Kampung itu adalah salah satu pintu terdekat menuju pantai Sawarna. Sebuah akses lagi berada dekat muara Sungai Sawarna.
Mobil tak bisa masuk ke kampung ini, dan harus mencari tempat parkir di sisi jalan raya dipandu juru parkir lokal. Agak pesimistis juga saat itu untuk bisa melihat dan mengabadikan sunset yang menggelapkan wujud Batu Layar dengan latar garis warna indah di langit, seperti dalam foto hasil jepretan T. Bachtiar. Langit kebiruan sedang kelabu.
Memasuki kampung wisata itu, tiap pengunjung harus meniti jembatan goyang yang melintasi sungai berwarna cokelat kopi susu menuju muara. Jalan sempit berlantai papan kayu selebar satu meter itu panjangnya 20-an meter.
Pejalan kaki yang takut, melangkah pelan sambil berpegangan kawat besi di dua sisi jembatan. Pelintas juga harus bergantian dengan pengendara sepeda motor, sehingga menimbulkan antrean, apalagi ketika konvoi klub sepeda motor lewat.
Menurut seorang warga, jembatan itu dibuat sejak 1990-an. Sayang, sampai sekarang, pemerintah daerah seperti buta bahwa lokasi itu menjadi kampung wisata sejak 2004. Selain tak layak dan tak pantas, keamanan jembatan itu mengerikan. Setelah melewati akses konyol itu, warga di pos wisata mengutip Rp 5.000 per orang.
Di kampung dengan jalan selebar satu meter itu, beragam jenis penginapan bagi wisatawan tersebar di antara rumah penduduk. Ada yang berbentuk seperti rumah petak dengan jajaran kamar, bermodel vila, dan motel kecil bertingkat.
Ketika libur panjang akhir pekan atau menjelang tahun baru, ujar seorang pemandu wisata bernama Uus, rumah warga bisa disewa ketika beragam penginapan itu sarat penyewa. “Waktu sewanya bebas, yang punya rumah menumpang ke tempat saudara atau tetangganya,” katanya.
Sekitar 15 menit berjalan kaki mencapai penginapan dan menyimpan tas di kamar, kami berjalan kaki meniti jalan setapak selebar satu meter. Lantainya paving block berpasir sejauh 1 kilometer lebih ke Batu Layar. "Batu itu ikon utama Pantai Sawarna yang membedakan dengan pantai lainnya," kata T. Bachtiar.
Batu Layar, atau juga disebut Tanjung Layar, merupakan sisa karang seperti bukit yang tingginya sekitar 150-200 meter. Bentuknya dilihat dari pantai, seperti layar kapal yang terkembang. Batunya berwarna putih kecokelatan muda. Letaknya di ujung tanjung, atau daratan yang menjorok ke laut.
Batu Layar itu teriris tipis menjadi dua. Diduga karena pelapukan batuan, atau terpotong garis retakan kulit bumi. Bagian kiri atau sisi timur batu itu berbentuk seperti kerucut, sedangkan wujud karang di sebelahnya, bila ditarik garis lurus antar sisinya, berupa trapesium dengan garis lebih panjang di bagian bawahnya.
Deretan karang hitam yang lebih pendek di depan Batu Layar menjadi semacam pagar pelindung dari empasan ombak laut selatan. Sore itu, sekitar 200 pengunjung lebih menyebar, sebagian melanggar larangan memanjat Batu Layar hingga diteriaki pengawas pantai.
Mendekati Batu Layar, bukit karang itu seperti tumpukan bongkahan batu gunung berpermukaan mulus dengan beberapa retakan. Pada lereng dan ujung puncaknya sebagian tertutup semak hijau. Sambil terus memantau posisi matahari di arah barat tempatnya akan tenggelam, saya mengelilingi Batu Layar untuk memandangi dari berbagai sisi. Pada salah satu dinding batu yang menghadap ke utara dari arah timur, permukaannya ada yang terlihat seperti wajah-wajah orang.
Seraya memotret suasana dengan kamera telepon seluler, saya bergabung kembali dengan peserta geotrek yang sedang “dikuliahi” Budi Brahmantyo. Geolog itu berkisah tentang sejarah batuan karang yang berasal dari sedimen terangkat pada 50-60 juta tahun lampau. Proses pengangkatan yang sangat pelan itu akibat pergerakan lempeng dari selatan ke utara.
Sedimentasi dari material gunung api secara berulang seperti kue lapis yang mengeras itu kemudian terlipat akibat dorongan lempeng. Hasilnya, lapisan sedimentasi material yang normalnya bertumpuk sejajar vertikal berubah menjadi terlipat tegak.
Ombak kemudian silih berganti datang untuk mengukir. Hasilnya, sisa puing karang akibat tergerus air laut itu membuat baris batuan unik, misalnya berbentuk gerigi atau seperti lidah api yang memanjang di lantai karang. “Batu Layar sama seperti yang di lantai karang. Bedanya, dia lebih kuat dari abrasi,” kata Budi.
Sore beranjak petang. Di kaki horizon, sinar jingga secara dramatis memancar dengan kontras di sela awan gelap bergulung-gulung memanjang. Mata dan kamera kami mengarah ke satu titik untuk mencegat keindahan senja dan siluet Batu Layar.
ANWAR SISWADI