TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan stabilisasi ataupun intervensi ke pasar untuk menjaga nilai tukar rupiah. Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan yang disiarkan melalui akun BI di Twitter hari ini, 10 Maret 2015, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa otoritas moneter berfokus memastikan stabilitas makro-ekonomi tetap terjaga.
Kebijakan suku bunga BI, kata dia, ditetapkan untuk menjaga inflasi terjada di kisaran 4 plus-minus 1 persen. Dalam Rapat Dewan Gubernur terakhir, ia menuturkan, BI melihat tekanan inflasi menurun, sehingga suku bunga acuan BI (BI Rate) turun. “Tapi ini tidak mengubah fokus kebijakan BI terkait dengan rupiah. BI akan terus melakukan stabilisasi nilai tukar sesuai dengan fundamental ekonomi,” ujarnya.
Perry menjelaskan, ada tiga faktor yang menyebabkan nilai tukar melemah. Pertama, penguatan dolar Amerika Serikat karena penguatan ekonomi AS dan adanya rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (Fed Fund Rate). Akibatnya, dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia.
Faktor kedua adalah pelonggaran moneter Bank Sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ), yang memperlemah mata uang euro dan yen terhadap dolar AS. Pada 2014, euro melemah terhadap dolar AS sebesar 13 persen, yen 12 persen, sementara rupiah hanya 1,8 persen. Walhasil, meski melemah terhadap dolar AS, rupiah menguat sekitar 11 persen terhadap euro dan yen.
Adapun faktor ketiga adalah faktor domestik. “Kita masih menghadapi defisit transaksi berjalan. Tapi defisit ini relatif mulai membaik,” kata Perry dalam acara yang juga dihadiri oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad ini.
EFRI RITONGA