TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneter pada kuartal terakhir 2015. Spekulasi itu merujuk perbaikan fundamental perekonomian yang berhasil mengendalikan laju inflasi dan mempersempit defisit neraca transaksi berjalan.
Head of Equities and Research UBS Indonesia, Joshua Tanja, dalam pemaparan di Jakarta, Selasa, 10 Maret 2015, memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan hingga 7 persen pada akhir 2015 dari level kini di 7,5 persen.
Selain tekanan inflasi yang menurun, Joshua mengatakan pelonggaran kebijakan moneter juga diperlukan untuk memberikan stimulus bagi sektor riil yang akan menopang laju pertumbuhan ekonomi. "Dengan penurunan suku bunga di akhir 2015, pertumbuhan ekonomi pada 2016 dapat 5,8 persen," ujar dia, memaparkan proyeksi dari bank asal Swiss ini, seperti dikutip Antara.
Meskipun demikian, Joshua masih memasang perkiraan konservatif untuk inflasi di 2015 sebesar 6 persen (year on year). Perbaikan inflasi akan terus berlanjut di 2016 hingga secara year on year akan mencapai 4,8 persen.
Joshua berpendapat perkiraan keberlanjutan penurunan harga minyak dunia juga akan memperbaiki defisit neraca perdagangan yang akhirnya mempersempit defisit neraca transaksi berjalan.
Menurut Joshua, harga minyak dunia akan terus jatuh bahkan di level yang cukup dalam. Jatuhnya harga minyak itu, menurutnya, melebihi lemahnya harga komoditi di pasar global, sehingga dampak pelemahan nilai impor akan melebihi melambatnya perbaikan eskpor. "Ini sinyal positif bagi neraca transaksi berjalan Indonesia," kata Joshua.
UBS memperkirakan defisit transaksi berjalan di 2015 akan menyempit ke 2,2 persen PDB. BI masih memiliki ruang dengan campuran kebijakan dengan pemerintah. “Jadi saya melihat instrumen BI rate lebih dipengaruhi untuk menjangkar inflasi," ujar Joshua.
Di sisi lain, meskipun pemerintah agresif menggencarkan pembangunan dengan mengeluarkan stimulus insentif fiskal maupun nonfiskal, Joshua mengatakan, dampak akselerasi pertumbuhan ekonomi baru terasa di 2016. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 masih rendah di 5,0 persen. Namun, pada 2016, pertumbuhan dapat terakselerasi hingga 5,8 persen.
Dari fakstor eksternal, Joshua mengatakan, BI akan tetap memperhatikan rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, di akhir 2015. Namun, dengan risiko eksternal tersebut, ujar Joshua, BI tetap memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan karena membaiknya inflasi.
UBS juga memperkirakan kurs rupiah cenderung akan terus melemah hingga Rp 13.250 per dolar AS di akhir 2015.
Bank Indonesia mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan stabilisasi ataupun intervensi ke pasar uang untuk menjaga nilai tukar rupiah. Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan yang disiarkan melalui Twitter hari ini, Selasa, 10 Maret 2015, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa otoritas moneter berfokus untuk memastikan stabilitas makro ekonomi tetap terjaga.
Kebijakan suku bunga BI, menurut Joshua, dilakukan utk mencapai inflasi agar terkendali dalam kisaran 4 plus-minus 1 persen. Dalam Rapat Dewan Gubernur terakhir, ia menuturkan, BI melihat tekanan inflasi menurun, sehingga suku bunga acuan BI (BI rate) turun. “Tapi ini tidak mengubah fokus kebijakan BI terkait rupiah. BI akan terus melakukan stabilisasi nilai tukar sesuai fundamental ekonomi,” ujar Joshua.
AGUSSUP