TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Mandiri Institut Destry Damayanti mengatakan pengaruh global jangan terlalu dijadikan alasan sebagai penyebab pelemahan rupiah. Musababnya, negara lain melemah tak separah rupiah. Pelemahan rupiah year to date telah mencapai 7 persen.
Destry mensinyalir hal ini terjadi karena kurangnya ketersediaan dolar di dalam negeri. Padahal permintaan dolar dalam negeri sangat tinggi untuk pembayaran impor dan membayar utang luar negeri. Pasokan dolar, salah satunya, bersumber dari eksportir. “Tapi eksportir, kan, enggak masukkin dolar mereka ke dalam negeri,” kata Destry di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015.
Menurut Destry, eksportir punya beragam alasan tak memasukkan dolar mereka ke dalam negeri. Salah satunya untuk kepentingan bisnis.
Meski pemerintah mengatakan pelemahan rupiah kali ini tak membahayakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Destry mengatakan, dampaknya tetap terasa pada sektor industri, mengingat impor bahan baku Indonesia masih mencapai 76 persen. Selain itu, ada 17 persen impor barang modal. Artinya, Indonesia masih mengimpor semua hal produktif. Dengan begitu, biaya impor akan naik dan pengusaha akan terkena dampak paling besar.
Inflasi juga akan terpengaruh karena besarnya impor bahan pangan. “Setiap depresiasi 10 persen akan ada penambahan inflasi 0,8 persen,” ujar Destry. Dengan depresiasi yang telah mencapai 7 persen, maka akan ada penambahan inflasi 0,6 persen. “Ini akan memberatkan target inflasi pemerintah dan BI.”
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia selama sepekan, Rabu lalu, kurs beli rupiah berada pada angka 12.898. Sedangkan untuk hari ini, kurs beli rupiah berada pada angka 13.098.
TRI ARTINING PUTRI