TEMPO.CO, Malang - Harga kedelai impor justru turun meski nilai tukar rupiah terus merosot. Harga kedelai turun sejak dua pekan terakhir, dari semula Rp 7.800 menjadi Rp 7.000 per kilogram.
Kondisi ini membuat para perajin tempe di Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, bungah karena keuntungannya bertambah.
"Rata-rata turun Rp 500 per kilogram," kata pedagang grosir kedelai, Wahyudi, Rabu, 11 Maret 2015. Yudi menduga harga kedelai impor dari Amerika, Kanada, dan Brasil turun lantaran pasokan melimpah. Persediaan kedelai di gudang pun menumpuk, sehingga setiap hari Yudi harus mendistribusikan 112 ton kedelai ke para perajin.
Total 500 perajin tempe di Sanan bergantung pada kedelai impor. Mereka lebih memilih kedelai impor sebagai bahan baku tempe karena kualitasnya lebih bagus ketimbang kedelai lokal. Sedangkan harga kedelai lokal terlalu mahal, walau dia mengakui cita rasanya lebih enak. "Tapi kedelai lokal lebih mudah busuk," kata perajin tempe, Wulandari.
Perajin tempe di Malang sempat mencari alternatif pengganti kedelai sebagai bahan baku tempe setelah harganya terus meroket tak terkendali. Kacang lupin, jenis kacang-kacangan dari Australia, sempat dipilih sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai Amerika.
Baca Juga:
"Ada sejumlah perajin mencoba membuat tempe dari kacang lupin," kata Ketua Primer Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia Bangkit Usaha Kota Malang Chamdani. Menurut dia, Kedutaan Besar Australia di Indonesia intens mendekati perajin tahu dan tempe. Mereka menyediakan berbagai fasilitas agar para perajin beralih menggunakan kacang lupin.
Upaya mendorong kacang lupin sebagai bahan baku alternatif tempe dimulai sejak 1980-an. Namun karena bulir kacangnya dianggap terlalu besar, tidak banyak perajin yang tertarik. Apalagi saat itu harga kedelai masih stabil. Kini, bulir kacang lupin lebih kecil dan dikirim dalam kondisi kulit bersih dan siap diolah menjadi tempe.
EKO WIDIANTO