TEMPO.CO, Jakarta - Terus menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah membuat importir merasa tidak tenang. Musababnya, dampak pelemahan rupiah menyebabkan ongkos operasional impor justru menguat dan melenceng dari asumsi batas pelemahan rupiah yang dianut para importir.
“Situasi ini bagi kami (importir) sudah tak nyaman,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia Bambang S.N. ketika dihubungi, Selasa, 10 Maret 2015. Hal ini diperparah tak mudahnya kalkulasi kenaikan harga jual yang juga berpotensi menurunkan angka penjualan.
Intensitas fluktuasi nilai tukar rupiah yang tak menentu menyebabkan importir kesulitan membuat perencanaan keuangan dan operasional jangka panjang. “Kami harus siap terhadap pelemahan mata uang, tapi tak serentan seperti ini,” katanya.
Bambang mengatakan naiknya ongkos produksi dan logistik menjadi momok utama para importir. Dia mencontohkan, tarif ongkos kirim yang secara kasat mata tak mengalami kenaikan tarif. Tarif kargo, misalnya, senilai US$ 10 ribu sekali jalan sama dengan Rp 125 juta dengan kurs Rp 12.500. Jumlah tersebut akan menggemuk menjadi Rp 130 juta karena pelemahan rupiah mencapai Rp 13 ribu.
“Itu baru sisi ongkir, belum harga bahan pokok dan produksi yang tak jarang memakai dolar,” kata Bambang. Karena itu, para importir berharap pemerintah bisa memberikan kepastian ihwal nilai tukar rupiah ini.
Pada penutupan perdagangan sore tadi, rupiah kembali melemah dan menyentuh 13.059 per dolar AS. Terus melemahnya rupiah juga menyebabkan ketakutan di kalangan Asosiasi Maskapai Nasional yang mengasumsikan batas kurs Rp 13 ribu per dolar.
ANDI RUSLI