TEMPO.CO, Solo - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengaku sangat kecewa dengan kondisi internal partai yang tengah dilanda konflik. Akbar mengatakan salah satu solusi yang paling cepat untuk mengatasi konflik antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie hanyalah musyawarah nasional luar biasa.
"Sedangkan penyelesaian menggunakan jalur hukum dinilai tidak efektif lantaran membutuhkan waktu yang lama," kata Akbar ketika ditemui saat menghadiri Dies Natalis ke-39 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Selasa, 10 Maret 2015.
Konflik pada tubuh Golkar semakin memanas menyusul langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono. Tak terima, kubu Aburizal Bakrie melaporkan Agung Laksono dan kawan-kawan ke Bareskrim atas sangkaan pemalsuan surat mandat yang dibawa dari daerah ke Munas Ancol.
Menkumham mengambil keputusan tersebut berdasarkan keputusan Mahkamah Partai Golkar. Mahkamah Partai menerima kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol dengan ketua Agung Laksono berdasarkan pertimbangan dua hakim Mahkamah Partai, yaitu Djasri Marin dan Andi Matalatta, yang memenangkan kubu Agung Laksono. Sedangkan Muladi dan Natabaya memilih tak bersikap.
Menurut Akbar, konflik antara kubu Agung dan Aburizal harus segera dihentikan. Sebab, Golkar terancam tidak bisa ikut meramaikan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun ini jika masih memiliki kepengurusan ganda.
Akbar menilai keikutsertaan Partai Golkar dalam ratusan pemilihan kepala daerah yang berlangsung tahun ini memiliki peranan cukup vital. Sebab, hasil pemilihan kepala daerah bakal mempengaruhi perolehan suara pada Pemilu 2019.
Menurut Akbar, suara Golkar akan terjun bebas jika tahun ini mereka melewatkan pemilihan kepala daerah. Pada 2009 lalu, Golkar masih mampu mendudukkan 106 wakilnya di legislatif. Jumlah itu turun pada pemilu kemarin menjadi hanya 91 kursi. "Jika kami melewatkan pilkada, perolehan suara bisa turun jadi 50-60 kursi saja," kata Akbar.
AHMAD RAFIQ