TEMPO.CO, Jakarta - Tiap bulan, mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin menerima uang dari PT Media Karya Sentosa. Dana itu terus mengalir meskipun pada 2013, Fuad tidak lagi menjabat Bupati. Sejak 2007, jumlah uang yang masuk ke kantong Fuad mencapai Rp 18,85 miliar.
"Itu bukan suap, tapi upeti. Klien saya berinisiatif memberikan karena Fuad Amin yang meminta," kata Fransisca Indrasari, penasehat hukum Direktur Human Resource Development PT Media Karya Sentosa, Antonius Bambang Djatmiko Antonius, seusai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 12 Maret 215.
Fransisce menyebut duit itu sebagai upeti karena baik Antonius maupun PT Media Karya Sentosa tidak menerima imbalan apapun sebagai balasan duit yang disetorkan. Dia mengakui Fuad terus meminta uang setelah tak menjabat lagi sebagai Bupati dan proyek membangun pipa gas di daerah itu dibatalkan.
Pada 1 Desember 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin yang menerima uang Rp 700 juta dari seorang pengusaha. Uang untuk Fuad, yang jadi politisi Partai Gerindra, diduga terkait proyek pasokan gas yang ditandatangani badan usaha milik daerah dengan perusahaan swasta.
Dalam dakwaan jaksa, awalnya Fuad menerima upeti Rp 50 juta per bulan. Pada 2009, Fuad meminta setoran dinaikkan menjadi Rp 200 juta. Hal ini berlangsung hingga 2013 saat setoran akhirnya meningkat jadi Rp 700 juta tiap bulan.
Tindakan Antonius menyetor duit pada Fuad disebut sebagai inisiatif pribadi. Lima anggota direksi PT Media Karya Sentosa yang diminta bersaksi dalam sidang, cuci tangan. Mereka tidak mengakui mengetahui informasi ihwal uang setoran atau upeti itu. "Saya tahu ada kompensasi tiap bulan untuk Perusahaan Daerah Sumber Daya, tapi tidak tahu ada juga untuk Fuad Amin," kata Presiden Direktur PT MKS Sardjono.
Antonius tidak mengajukan keberatan atas kesaksian jajaran direksi. Dia juga tak mau menanggapi pertanyaan yang diajukan terkait rekannya yang terkesan buang badan. "Saya tak ada komentar," ujar dia.
Namun pengacaranya menyebut uang yang diserahkan ke Fuad Amin tiap bulan adalah upeti, bukannya suap. Pada abad ke-18, penguasa di Jawa memang menarik upeti atau penyerahan wajib dari sebagian hasil panen petani. Upeti ini menopang kehidupan penduduk dalam istana, baik raja, para bangsawan, pejabat kerajaan dan para pengikut mereka.
Di samping upeti, penguasa juga menuntut berbagai bentuk pelayanan kerja wajib dari penduduk desa. Dalam sistem ini jelas tidak ada pemisahan yang jelas mana yang disebut dengan pemasukan pribadi dan pemasukan negara.
Para ilmuwan sosial menyebut Fuad Amin memadukan dua otoritas kekuasaan di Madura, yaitu kiai dan blater (jagoan atau jawara). Fuad Amin adalah cicit Syaikhona Kholil Bangkalan yang terkenal itu. Pada akhir abad ke-19, nyaris semua kiai dan ulama besar di Jawa pernah nyantri kepada Kiai Kholil.
Dalam karier politiknya, Fuad Amin berhasil menundukkan rezim blater Madura untuk menyokong kekuasaannya. Tidak ada yang berani melawan. Para pengritik dan pembangkang mendapat teror dari sekelompok orang.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA