TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengaku bahwa dalam proses pemberian remisi kerap ada "main mata". Karena itu pihaknya merancang sistem online pemberian remisi supaya mudah dikontrol.
"Saya tak menutup mata bahwa pemberian remisi dan pembebasan bersyarat rawan bancakan. Kalau tak ada uangnya tak ada remisi. Ini yang mau saya berantas," ujar Laoly di Istana Negara, Jumat, 13 Maret 2015.
Laoly mengatakan ia sudah mengalokasikan anggaran untuk sistem itu. Dengan sistem ini, kata Laoly, keluarga narapidana bisa mengontrol proses pemberian remisi. Sistem ini juga bisa langsung dikontrol oleh Laoly di mana pun ia berada.
Apabila narapidana sudah memenuhi syarat pemberian remisi, Kementerian akan meminta keluarganya untuk membuat akun proses pemberian remisi secara online. Kemudian keluarga di rumah bisa memantau terus prosesnya hingga remisi dikabulkan. "Nanti misalnya saya cek kok si Denny Amir ini lambat prosesnya, oh rupanya ada syarat yang kurang. Seperti itu lebih transparan," ujarnya.
Laoly ingin menyusun kembali kriteria pemberian remisi untuk kasus-kasus yang mendesak. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, memang disebutkan bahwa napi kasus korupsi, narkotik, dan terorisme tidak berhak mendapatkan remisi atau pengetatan dalam pemberian remisi.
Beleid tersebut mengatur mengenai pengetatan aturan pemberian remisi untuk narapidana kasus korupsi. Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, narapidana kasus korupsi harus bersedia menjadi justice collaborator yang bekerja sama untuk mengungkap pelaku utama atau perkara maupun pelaku korupsi yang lainnya. Kedua, narapidana kasus korupsi harus membayar pidana uang pengganti dan denda yang dijatuhkan kepadanya.
TIKA PRIMANDARI