TEMPO.CO, Jakarta - Kandidat doktor di Universitas Marmara, Turki, Muhammad Syauqillah, mengatakan sekitar 1.000 warga negara Indonesia menuntut ilmu di Turki. Mereka terdiri atas pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan mahasiswa.
Mayoritas mereka adalah penerima beasiswa baik dari pemerintah Turki, pemerintah Indonesia, maupun lembaga pendidikan swasta. "Yang tingkat SMA atau hafal Al-Quran mendapat beasiswa dari Kementerian Agama," kata Syauqillah kepada Tempo, Jumat malam, 14 Maret 2015.
Di luar kegiatan studi, mereka mengikuti diskusi nilai-nilai Islam damai yang disuarakan Gusdurian, kelompok peminat pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Turki atau kegiatan tentang Islam lain dengan kelompok lain.
Namun, dia melanjutkan, ada juga yang memilih bersikap eksklusif atau menutup diri. Menurut Syauqillah, para pelajar atau mahasiswa Indonesia yang eksklusif ini cenderung memiliki pemahaman Islam yang radikal.
Karena itu, mereka dikhawatirkan mudah direkrut oleh jaringan Islam radikal. Adapun pelajar dan mahasiswa yang terbuka tapi memiliki pemahaman tentang Islam yang dangkal juga berpotensi mudah direkrut oleh jaringan tersebut.
Ia menyesalkan langkah Kedutaan Besar Indonesia di Turki yang tidak intens merangkul dan membina warga Indonesia di negara tersebut. "Sayang sekali, kedubes kita tidak intens membina mereka. Seingat saya, Kedubes hanya sekali mengundang kami, yakni saat memperkenalkan dubes baru, tahun 2010," kata Syauqillah.
Syauqillah menduga kuat jaringan ISIS menargetkan mereka. "Sudah dua pelajar Indonesia yang saya tahu bergabung dengan ISIS," ujarnya. Satu di antaranya, ia mengungkapkan, adalah warga Kalisari Dharma, Surabaya, Jawa Timur.
MARIA RITA