TEMPO.CO, Jakarta - Para pelajar Indonesia, baik yang setingkat sekolah menengah atas (hafal Al-Quran) maupun mahasiswa, di Turki punya kode untuk mengidentifikasi orang-orang yang terlibat dengan kelompok radikal, seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"'Jihad bintang lima', begitu sebutan di sana," kata pegiat nilai-nilai Islam damai Gusdurian di Turki, Muhammad Syauqillah, kepada Tempo, Jumat malam, 14 Maret 2015.
Mereka dikategorikan sepenuhnya menerima nilai-nilai Islam yang tidak toleran terhadap agama lain, bahkan terhadap Islam yang mengajarkan jalan damai.
Syauqillah mengatakan mereka yang melakukan jihad bintang lima mudah diidentifikasi karena sangat tertutup (antisosial) dan menolak diajak berdiskusi secara terbuka. Selain tertutup, kata kandidat doktor di Universitas Marmara ini, mereka biasanya menyukai game perang online yang menunjukkan bahwa mereka memiliki watak suka kekerasan. Mereka menjalani proses radikalisasi di Indonesia. "Jadi bukan di Turki radikalnya," ujarnya.
Sekitar 1.000 warga Indonesia menuntut ilmu di Turki. Mereka menerima beasiswa dari pemerintah Turki atau lembaga pendanaan swasta.
Ia memperkirakan lebih dari 150 warga negara Indonesia telah bergabung dengan ISIS di Suriah melalui Turki. Di antara mereka ada yang melalui jalur ilegal (kacak, dalam bahasa setempat). "Tapi ada laporan mengatakan sudah 500 warga Indonesia bergabung dengan ISIS, sementara aparat kita menyebut 50 orang," kata Syauqillah.
MARIA RITA