TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk merevisi pemberian remisi kepada pelaku kejahatan luar biasa, termasuk koruptor, merupakan langkah mundur. Johan menilai adanya peraturan pemerintah tersebut tak akan memberikan efek jera.
"Ini akan bertabrakan dengan semangat pemberantasan korupsi di mana ingin memberikan efek jera pada koruptor," ujar Johan di Istana Negara, Senin, 16 Maret 2015.
Menteri Laoly ingin menyusun kembali kriteria pemberian remisi untuk kasus-kasus ekstraordinari. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, memang disebutkan bahwa napi kasus korupsi, narkotik, dan terorisme tidak berhak mendapatkan remisi atau pengetatan dalam pemberian remisi.
Beleid tersebut mengatur mengenai pengetatan aturan pemberian remisi untuk narapidana kasus korupsi. Setidaknya, ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, narapidana kasus korupsi harus bersedia menjadi justice collaborator yang bekerja sama untuk mengungkap pelaku utama atau perkara maupun pelaku korupsi yang lainnya. Kedua, narapidana kasus korupsi harus membayar pidana uang pengganti dan denda yang dijatuhkan kepadanya.
Menurut Laoly, selama ini ada diskriminasi dalam pemberian remisi. Laoly ingin pemberian remisi tak dilekatkan pada lembaga lain. Hal ini dilakukan supaya pemberian remisi betul-betul adil dan dipenuhi sebagai salah satu hak narapidana.
Johan mengaku belum menerima undangan dari Laoly untuk mendiskusikan hal tersebut. "Kami belum terima undangannya," kata Johan.
Johan datang ke Istana bersama pimpinan KPK lainnya, Taufiequrachman Ruki dan Zulkarnaen. Mereka datang untuk berkoordinasi bersama Jokowi terkait dengan acara penyelamatan sumber daya alam yang akan ditandatangani 29 kementerian.
TIKA PRIMANDARI