TEMPO.CO , Jakarta: Indonesia harus mencontoh pemerintah Amerika dalam menyikapi kasus bencana karena kelalaian perusahaan. Mereka langsung banding terkait putusan pengadilan terhadap perusahaan minyak BP Oil yang dijatuhkan Januari 2015.
Pengadilan Distrik New Orleans yang dipimpin hakim Carl Barbier menghukum maksimum 13,7 miliar dolar Amerika. Hukuman itu tidak sesuai dengan harapan pemerintah ferederal yakni 17,6 miliar dolar Amerika.
Pada 20 April 2010, pipa pengeboran minyak BP di Teluk Meksiko bocor dan meledak. Peristiwa itu menghancurkan rig atau anjungan lepas pantai dan menewaskan 11 pekerja. Dalam jangka waktu tiga bulan, pesisir pantai di negara bagian Louisiana dan empat negara bagian lainnya tercemar minyak.
Sabtu, 14 Maret 2015, pejabat federal menjelaskan latar belakang keputusan Barbier patut dipertanyakan. Begitu pula dengan celah yang digunakan BP, dengan mengajukan banding atas tutuhan kelalaian dalam melakukan ekploitasi ladang minyak tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat memiliki kalkulasi sendiri terhadap bencana industri yang terbesar sepanjang Amerika itu. Tumpahan minyak setara dengan 4,09 juta barel, terpaut selisih 80 juta barel dari kalkulasi BP sebesar 3,26 juta barel.
Juru bicara bidang hukum BP, Wyn Hornbuckle belum bisa dimintai keterangan mengenai upaya banding tersebut. Seperti yang dilansir Bloomberg, BP telah menggelontorkan duit lebih dari US$ 30 miliar sebagai langkah pertanggujawaban membersihkan tumpahan minyak dan biaya ganti rugi lainnya.
Memang, BP menerima ribuan tuntutan hukum. Salah satunya dari perusahaan rekanan Vernier yang menyediakan peralatan pengeboran.
Bencana industri serupa terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Mei 2006, keluar lumpur panas di dekat sumur minyak PT Lapindo Brantas. Hingga saat ini, semburan itu belum berhenti dan lumpur panas itu telah menenggelamkan ribuan rumah warga di beberapa desa.
Polisi tidak melanjutkan penyidikan kasus itu karena lebih percaya sejumlah ahli yang menyebut underground blow out itu karena faktor gempa Yogyakarta.
Pemerintahan Yudhoyono membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang selama 2008-2014, mengeluarkan dana Rp 9,53 triliun untuk menangani dampak lumpur Lapindo.
Pada Januari 2015, Presiden Jokowi setuju memberikan dana talangan Rp 781,7 miliar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, setelah perusahaan tidak sanggup lagi memberi ganti rugi kepada warga yang menjadi korban.
REUTERS | BLOOMBERG | ANDI RUSLI