TEMPO.CO, Bandung - Gitar Ermach 17 nada dalam genggaman Agus Rukmana, 56 tahun, dengan sendirinya menyusun nada-nada pentatonik yang harmonis. Secara saksama, Agus memainkan beberapa chord musik tradisi Sunda, seperti pelog, salendro, dan degung, menggunakan gitar itu.
Agus adalah satu-satunya musikus Sunda yang bisa memainkan gitar Ermach 17 nada. Menurut Agus, memainkan gitar 17 nada relatif cukup mudah karena sebelumnya dia memiliki dasar gitar klasik.
"Perbedaannya hanya pada jarak interval. Dalam gitar diatonik Barat yang memiliki 12 nada, nada kruis dan mol itu terletak dalam nada yang sama, jadi nadanya harmonis. Sedangkan dalam gitar 17 nada, kruis dan mol itu terpisah, memiliki letak nadanya masing-masing, makanya kan bisa mengakomodasi tangga nada musik dunia," ujar Agus di kediamannya di Kompleks Margahayu Raya Barat, Kota Bandung, Senin, 16 Maret 2015.
Awalnya, sekitar tahun 2004, Agus bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Gentra Sora Rasa Sunda (GSRS) terbiasa memainkan tembang Sunda menggunakan gitar 12 nada yang dikolaborasikan dengan alat musik tradisional Sunda, seperti kecapi rincik dan suling. Namun, ketika menggunakan gitar 12 nada, ia selalu merasa tidak pas saat disandingkan dengan kecapi dan suling.
"Sebetulnya nada dari gitar 12 nada itu bisa selaras dengan kecapi suling, tapi cenderung dipaksakan dan selalu ada yang hilang nadanya karena memang beda aturan nadanya," ucap Agus.
Pada 2005, berbekalkan keterampilannya pada gitar klasik, Agus melakukan eksplorasi dengan mencari gitar yang bisa mewadahi nada musik tradisi Sunda (pentatonik). "Kebetulan pada tahun itu gitar Ermach 17 nada dibuat empat replika, dan saya adalah salah satu yang memilikinya," katanya.
Agus bersama GSRS telah mencetak tiga album, yang di antaranya menjadi cendera mata peringatan ke-50 tahun Konferensi Asia Afrika pada April 2005. Pada 24 April 2005, Agus bersama rekan-rekannya, H. Rukruk (kecapi rincik) dan Ade Suandi (suling), membawakan sebelas repertoar degung Sunda klasik, seperti Padjadjaran, Palwa, Banteng Wulung, Galatik Manggut, dan Sangkuratu.
"Saat itu saya belum menemukan gitar 17 nada, jadi saya masih menggunakan gitar 12 nada dalam melantunkan lagu itu, yang kemudian dijadikan cendera mata dalam acara KAA itu," kata Agus.
Namun, ucap Agus, sangat disayangkan dokumentasi repertoar degung Sunda klasik Dangiang Parahiyangan tidak dimiliki oleh pemerintah Indonesia. "Yang masih ada dokumentasinya saat ini hanya di Amerika, mungkin apresiasi terhadap karya seni di negara kita kurang atau seperti apa saya tidak begitu mengerti," ujar Agus.
Rencananya, Agus ingin berpartisipasi dalam rangka peringatan KAA yang ke-60 pada 24 April 2015 nanti. Namun sampai saat ini masih belum ada pembicaraan yang serius dari Pemerintah Kota Bandung dengan GSRS. "Sekitar enam lagu telah saya siapkan. Sekarang masih dalam proses mixing. Temanya Spirit of Welas Asih," ucapnya.
AMINUDIN