TEMPO.CO, Jakarta -Dalam diskusi #MusikTempo yang pertama pada akhir Februari 2015, musisi Hang Dimas mengatakan bahwa hak cipta sebuah lagu—baik dalam bentuk lirik ataupun musik—sudah melekat sejak lagu itu diciptakan. "Bahkan sebelum lagu itu direkam, hak cipta itu sudah melekat pada penciptanya," kata Dimas di kafe Bird Cage, Jakarta Selatan. "Tentu, nanti dia harus memiliki bukti bahwa lagu itu dia yang menciptakan."
Pertanyaan pertama yang paling dasar dan yang akan timbul apakah kita bisa langsung memonetisasi lagu tersebut setelah memiliki Hak Cipta? "Jawabannya adalah ya," kata Robin. "Tapi tunggu sebentar, memonetisasi bukan berarti langsung mendapatkan uang. Karena secara terminologi, monetisasi adalah usaha untuk mendapatkan uang." Usaha-usaha tersebut yang dimaksud bisa dengan menjual sendiri lagu tersebut kepada pengguna lagu (perusahaan rekaman, iklan, dsb). Atau, kita memakai cara kedua, yaitu mendaftarkan kepada penerbit musik (music publishing).
Masalahnya, kenapa seorang pencipta lagu harus meminta seorang publisher untuk "menjualkan" lagunya ke orang lain? Kenapa harus memakai perantara? Irfan Aulia, seorang musisi yang juga salah seorang pendiri perusahaan penerbit musik Massive Music, menyatakan bahwa ada sejumlah keuntungan dari musisi jika mamakai jasa publishing untuk menerbitkan lagunya.
Pertama, perbedaan pada fokus atau kosentrasi. Seorang musisi seharusnya berkosentrasi dalam berkarya. Kesibukan dalam mengeksploitasi musik idealnya bisa dilakukan oleh pihak lain. Hal lainnya adalah pada struktur administrasi, di mana pada perusahaan publikasi telah ada struktur yang lebih lengkap dalam memonetasi sebuah karya. Belum lagi soal jaringan luas yang mereka miliki. Tentu, atas usaha yang mereka lakukan, ada sedikit prosentase yang disisihkan untuk perusahaan publishing ini.
Irfan akan membahas secara mendalam hal ini dalam diskusi #MusikTempo ke-2 di Bird Cage pada 25 Maret ini.
QARIS TAJUDIN