TEMPO.CO , Jakarta: Aksi panggung One Direction bakal menggoyang Jakarta pekan depan. Boys band asal Inggris itu diperkirakan bakal menyedot perhatian puluhan ribu directioners, istilah bagi para penggemar 1D. Mereka akan melakukan segala hal agar bisa menyaksikan tokoh idola mereka. Bagaimana harusnya orang tua menyikapi gejala fanatisme tersebut?
Menurut Psikolog Tika Bisono, antusiasme para penggemar sangat mungkin menyita perhatian para orang tua, terlebih bagi mereka yang pas-pasan secara ekonomi. Harga tiket yang dibanderol Rp 1,2 juta ke atas membuat mereka berfikir beribu kali merelakan uang sebanyak itu. "Kalau anak mereka gagal menonton, pastinya akan kecewa," ujarnya ketika dihubungi, 19 Maret 2015.
Tika menilai beban itu mestinya tidak menjadi beban bagi para orang tua. Apalagi konser itu sudah dijadwalkan sejak setahun lalu. Jeda selama itu hendaknya digunakan mereka untuk melatih anak belajar berhemat dan menabung. "Anak-anak harus dididik berkorban untuk hal-hal yang mereka inginkan. Jangan selalu bergantung pada kemampuan orang tua," katanya.
Lalu bagaimana jika tabungan mereka tak kunjung mampu membeli tiket? Menurut Tika, kesulitan itu bisa saja diatasi jika anak mereka memiliki teman-teman yang bersedia memberi bantuan. Meski peluangnya kecil, bantuan itu menunjukkan bentuk solidaritas di antara mereka. "Resiko terburuk, anak yang gagal menonton bakal kecewa," ujarnya.
Aksi panggung One Direction bakal digelar tanggal 25 Maret 2015 di Gelora Bung Karno. Boys Band yang beranggotakan Niall Hiran, Zayn Malik, Liam Payne, Harry Styles, dan Louis Tomlinson itu diperkirakan bakal menyedot puluhan ribu penggemar mereka di tanah air. Agenda kedatangan mereka sempat tertunda sejak tahun lalu akibat ketidaksiapan panitia.
Menurut Tika, fanatisme terhadap figur selebritas merupakan gejala yang lazim. Kalangan remaja cenderung mengidolakan figur-figur yang sejalan selera zamannya masing-masing. Tokoh dan kelompok musik seperti The Beatles, Deep Purple, Queen, Michael Jackson, Slank, New Kids on the Block, Westlife, dan Metallica, merupakan beberapa di antaranya.
"Mereka itu para bintang yang memiliki magnet dan bisa mempengaruhi banyak hal bagi para
penggemarnya," ujar Tika. Kegandrungan itu bisa mempengaruhi pola pikir para penggemar, prilaku maupun pilihan mereka dalam berbusana. "Mereka menjadikan tokoh idola sebagai cermin dan raw model," kata pasikolog yang pernah menjadi pengemar berat Deep Purple ini.
Meski demikian, kata Tika, efek cermin itu bisa berakibat positif atau negatif. Seseorang bisa
terjerat penggunaan narkotika, atau memiliki penyimpangan orientasi seksual, persis seperti yang dilakukan tokoh idola mereka. Namun dampak itu juga bisa berakibat positif seperti mengasah empati, solidaritas atau kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Tika menjelaskan, pengidolaan terhadap publik figur merupakan bagian dari proses pencarian identitas kalangan remaja. Fanatisme itu akan menciptakan kelompok pertemanannya sendiri-
sendiri. Saat berhadapan dengan situasi itu, orang tua memiliki peran mengarahkan anak mereka agar terhindar dari dampak buruk. "Orang tua harus ikut peduli," ujarnya.
RIKY FERDIANTO