TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias, Sumatera Utara, kepada Yusman Telaumbanua. Menurut aktivis ICJR, Erasmus Napitupulu, vonis tersebut menunjukkan buruknya standar proses peradilan di Indonesia.
Erasmus mengatakan Yusman masih termasuk anak-anak. Jadi remaja 16 tahun itu tidak dapat dihukum mati. Ketentuan ini diatur hukum internasional, yakni Pasal 37a Konvensi Hak Anak dan Pasal 6 ayat 5 Konvenan Hak Sipil dan Politik.
"Hukuman mati dan seumur hidup tidak dapat dijatuhkan kepada anak," kata Erasmus dalam keterangan pers ICJR Sabtu, 21 Maret 2015.
Yusman divonis mati karena terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap tiga pembeli tokek, yakni Koli Marianus Zega, Rugun Sihaloho, dan Jimmy Girsang di Desa Gunungtua, Kecamatan Tugala Oyo, Kabupaten Nias Utara, pada 24 April 2014.
Dalam kasus Yusman, menurut Erasmus, ditemukan pelanggaran hak anak dalam pemeriksaan. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak, kata dia, Yusman seharusnya diperiksa dalam sidang tertutup dan khusus anak.
"Namun fakta yang ditemukan adalah proses yang dihadapi Yusman Telaumbanua disamakan dengan peradilan terdakwa usia dewasa," kata Erasmus.
Yusman, kata Erasmus, juga berhak mendapat bantuan hukum secara efektif. Erasmus mencontohkan buruknya kualitas kuasa hukum Yusman. Menurut dia, sikap pengacara Yusman, yakni Dodo Laia dan Cosmas Doha Amazihono, yang meminta hukuman mati terhadap klien mereka, telah melanggar Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Lebih parah lagi, Erasmus menilai, majelis hakim tidak merespons permasalahan tersebut. "Bahkan Jaksa Agung HM. Prasetyo mendasarkan alasan pernyataan advokat Yusman Telaumbanua sebagai dasar tidak adanya rekayasa dalam kasus tersebut," kata Erasmus.
Dengan begitu, menurut Erasmus, kasus Yusman menunjukkan bahwa Indonesia gagal meyakinkan publik akan prinsip fair trial dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa.
ICJR mendesak pemerintah segera merespons kasus ini. "Terutama dengan upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali dan kasasi, demi kepentingan hukum," ujarnya.
SINGGIH SOARES