TEMPO.CO, London - Wakil Inggris tak tersisa di babak perempat final Liga Champions. Torehan buruk ini memicu diskusi seru di media-media Inggris.
Habisnya wakil Inggris dipastikan setelah Manchester City takluk 1-0 di kandang Barcelona. The Citizens terdepak dari babak 16 besar karena kalah skor dengan agregat 3-1. Tim asuhan Manuel Pellegrini itu menyusul nasib Chelsea dan Arsenal, yang juga tersingkir pada babak yang sama.
Lalu, apa yang salah dengan klub Inggris? Pertama, soal padatnya jadwal. Di Inggris, jadwal kompetisi memang berbeda. Sementara di negara lain umumnya hanya ada dua kompetisi domestik, Inggris punya tiga kompetisi sekaligus, yakni Liga Primer, Piala FA, dan Piala Liga. Yang lebih mencolok, Inggris juga tak mengenal jeda libur Natal dan tahun baru, berbeda dengan negara lain. Periode itu justru jadi periode tersibuk di Liga Inggris.
Bagi Gary Lineker, mantan pesepak bola yang kini jadi pengamat, faktor itu sangat menentukan. "Bila tak ada jeda, setidaknya mereka harus memainkan lebih sedikit laga saat Natal dan tak ada laga ulangan untuk babak keempat Piala FA dan seterusnya," katanya seperti dikutip BBC.
Tapi sebagian orang lebih melihat faktor kedua, yakni keberuntungan. Buktinya, dengan jadwal seperti itu, klub Inggris pernah menjadi juara, bahkan pada 2007-2008 mereka mengirim dua wakil ke final. Jadi, apa bedanya dengan musim ini?
Nah, lantas muncul kesimpulan yang menegaskan bahwa Inggris saat ini tengah mengalami fase penurunan dalam siklus yang lazim di sepak bola. Secara umum, performa klub di negara itu dianggap tengah menurun. Hal itu terlihat dari kondisi Manchester United yang bahkan gagal berlaga di Liga Champions.
Masalah ketiga, yang disoroti di babak 16 besar itu adalah kurangnya pemain asli Inggris yang berlaga. Dari tiga klub Inggris yang berlaga, hanya lima pemain asli Inggris yang diturunkan. Mereka adalah Gary Cahill dan John Terry di Chelsea; Danny Welbeck di Arsenal, yang juga menurunkan Kieran Gibbs dan Theo Walcott sebagai pemain pengganti; serta Joe Hart dan James Milner di City.
Hal keempat, soal gaya bermain. Klub-klub dipandang naif dalam menerapkan gaya bermain karena, seperti yang dilakukan City pada leg pertama saat melawan Barca, mereka berani memainkan pola menyerang frontal menghadapi tim yang sangat kuat di lini tengahnya. Secara umum, tim Inggris, seperti ditulis Foxsports, juga dianggap kurang kokoh dalam bertahan.
Bila diikuti terus, diskusi soal itu tampaknya masih akan panjang. Yang jelas, setelah dikalkulasikan dari koefisien UEFA, kesimpulannya jelas: pada musim depan, juga musim berikutnya, empat jatah Inggris ke Liga Champions masih akan aman.
Jejak Klub Inggris di Perempat Final Liga Champions:
2014-2015: Tak ada
2013-2014: 2 klub (Manchester United, Chelsea)
2012-2013: Tak ada
2011-2012: 1 klub (Chelsea)
2010-2011: 3 klub (Tottenham Hotspur, Chelsea, Manchester United)
2009/-2010: 2 klub (Manchester United, Arsenal)
BBC | SKY SPORT | FOXSPORTS