TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 15 orang imigran asal Irak, Bangladesh, dan Nepal diusir dari Pulau Christmas, Australia. Mereka yang terdiri atas sepuluh orang laki-laki dewasa, dua orang perempuan dewasa, dan tiga orang anak perempuan itu terdampar di Pantai Ombak Tujuh, Desa Ciracap, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sejak kemarin, Minggu, 22 Maret 2015.
Para imigran itu kini diamankan di Rumah Detensi Imigran Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi. Berdasarkan pendataan, sebanyak tujuh orang merupakan warga negara Irak, enam orang warga negara Bangladesh, dan dua orang warga negara Nepal.
Menurut penuturan salah satu imigran, Muhammad Belayet Hussain, 30 tahun, mereka berangkat ke Pulau Christmas melalui jalur perairan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, pada Rabu, 17 Maret 2015. Mereka tiba di Pulau Christmas pada Jumat, 19 Maret 2015 siang sekitar pukul 12.30 waktu setempat.
Namun baru sekitar dua hari berada di Pulau Christmas, mereka dipulangkan lagi ke perairan Indonesia menumpang perahu bermesin diesel. Mereka sempat menyusuri daerah perbukitan hampir lima jam tanpa tahu arah. "Kami sempat dua hari berada di Pulau Christmast, tapi dipulangkan lagi. Kami juga tak tahu berada di mana ketika perahu terdampar," kata Hussain dalam bahasa Melayu yang cukup fasih.
Dia mengatakan setelah terdampar, para imigran itu berjalan hampir lima jam di daerah perbukitan. "Setelah merasa pusing-pusing (capek), kami menemukan rumah yang diisi satu orang makci (perempuan), pakci (laki-laki), dan satu orang anak. Kami istrahat di sana, kemudian kami dibawa polisi," kata Hussain.
Ia mengatakan tujuannya ke Pulau Christmas karena ingin mendapatkan pekerjaan. Sebab, saat ditampung di tempat penampungan imigran di Cisarua, Bogor, dia tak memiliki pekerjaan tetap. "Untuk berangkat ke Pulau Christmast saya dan dua orang teman membayar Rp 40 juta. Tidak tahu kalau yang lain bayarnya berapa. Saat sampai di tempat terdampar (Pantai Pangumbahan), kapten (nakhoda) kapalnya entah ke mana. Dia berlari," tuturnya.
Dia sengaja pergi dari negaranya di Bangladesh karena takut dengan konflik yang terjadi. Hussain bisa membayar biaya pergi ke Pulau Christmast karena menjual tanah dan rumah di Bangladesh ditambah uang tabungan hasil kerjanya di Malaysia.
"Saya sempat kerja di Malaysia selama enam tahun. Kemudian kembali lagi ke Bangladesh. Tapi di Bangladesh ada perang. Makanya saya pergi ke negara lain. Saya berada di tempat penampungan di Bogor kurang dari enam bulan," sebutnya.
Hussain belum mengetahui nasib ke depan. Dia mengaku cukup betah berada di Bogor karena cuacanya sejuk. "Gak tahu mau pulang lagi ke Bangladesh atau tidak. Di Bogor juga enak, cuacanya sejuk," tukasnya.
Pernyataan sama dituturkan oleh rekannya Kamal. Dia mengaku membayar Rp 40 juta bersama dua orang rekannya agar bisa sampai ke Pulau Christmast. "Saya memberi uang ke laki-laki bertubuh agak gemuk dan tinggi. Di lengan kirinya ada stiker (tato)," kata Kamal.
Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Imigran Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi Markus Lenggo menyatakan ke-15 imigran tersebut merupakan pengungsi United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). Dia sudah berkoordinasi dengan Dirjen Keimigrasian Kemenkum dan HAM serta International Organization for Migration (IOM) untuk mengambil langkah selanjutnya.
"Untuk sementara ini mereka yang berjumlah 15 orang kami tampung di Rudenim Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi. Status mereka sebetulnya pengungsi karena mengantongi surat UNHCR. Tapi karena pergi ke negara lain tak sesuai aturan, maka mereka dikategorikan imigran ilegal," kata Markus di Sukabumi, Senin 23 Maret 2015.
DEDEN ABDUL AZIZ