TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa pendanaan Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS) di Indonesia memang berasal dari jaringan internasional. Antarjaringan, kata JK, tentu saling membantu. Namun, JK mengaku tak tahu berapa jumlah aliran dana dari Australia dan negara lainnya yang masuk ke Indonesia.
"Sejak dulu memang begitu," kata JK di kantornya, Rabu 25 Maret 2015.
Bekas Ketua Umum Partai Golkar ini berharap data-data yang telah diperoleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ihwal aliran tersebut langsung ditindaklanjuti oleh penegak hukum. "Aparat bisa meminta bank masing-masing membekukannya," kata JK.
Namun, JK mewanti-wanti agar PPATK dan aparat penegak hukum mencari informasi dengan jelas bahwa dana itu memang untuk kegiatan terorisme dan radikalisme. Jangan sampai, kata dia, semua aliran dari luar negeri langsung dicurigai. "Bisa berbahaya nanti untuk ekonomi kita," kata dia.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan modus aliran dana ke organisasi masyarakat atau individu pendukung ISIS di Indonesia. Dana itu, misalnya, digunakan untuk merekrut pendukung dan memberangkatkan mereka ke Irak dan Suriah serta untuk menyebarkan paham ISIS.
Menurut Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, modus aliran dana yang sudah terdeteksi berupa aliran dana dari luar negeri dan kegiatan bisnis. Sejauh ini, menurut Agus, pihaknya sudah mendeteksi aliran dana dari Australia. "Nilai aliran dananya mencapai ratusan ribu dolar," kata Agus di Jakarta, Senin, 23 Maret 2015.
Namun, Agus belum mau merinci soal aliran dana dari Australia itu. Adapun aliran dana dari dalam negeri, kata Agus, sebagian besar berasal dari bisnis yang dibangun pendukung ISIS. PPATK menemukan nilai transaksinya mencapai Rp 7 miliar pada Februari 2015. "Bisnisnya jual obat-obatan herbal dan buku," kata Agus.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | TIKA PRIMANDARI