TEMPO.CO, Yogyakarta - Puteri sulung Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, mengakui ada perbedaan kepentingan di antara kerabat keraton Yogyakakarta. “Kalau beda ibu kan pasti ada (gap),” katanya saat ditemui Tempo di rumahnya, Ndalem Wironegaran, Rabu 25 Maret 2015.
Sebelumnya adik tiri Sultan HB X, GBPH Prabukusumo bereaksi terhadap sabdatama Sultan yang disampaikan pada Jumat 6 Maret 2015. Sultan meminta kerabat keraton tak lagi membicarakan soal tahta Keraton Yogyakarta itu. Dalam sabdatama itu Sultan juga mengatakan penguasa Keraton bisa saja lelaki atau perempuan.
Prabukusumo menilai pernyataan Sultan itu bertentangan dengan paugeran (peraturan) Keraton Yogyakarta menyebutkan raja adalah laki-laki, bukan perempuan. “Kalau disuruh berhenti (bicara), enggak bisa. Harus diingatkan agar sesuai paugeran,” kata Prabukusumo pada 9 Maret 2015.
Sebaliknya, menurut Pembayun, Keraton Yogyakarta bukanlah kerajaan yang anti perubahan. Ia memberi contoh, sebelum masa pemerintahan Hamengku Buwono IX, kaum perempuan tak banyak mendapat ruang di lingkungan keraton. Menari misalnya, adalah perkara tabu bagi puteri keraton. Malahan para pemain bedaya puteri diambil dari penari lelaki yang mengenakan pakaian perempuan. Tradisi itu berubah setelah Sultan Hamengku Buwono IX naik tahta. “(Keraton) sangat mengikuti zaman,” katanya.
Tak sekadar memberi ruang lebih luas bagi perempuan, penerusnya, Sultan Hamengku Buwono X malah meninggalkan kebiasaan poligami yang lazim dilakukan pendahulunya. Dengan poligami, menurut dia, Sultan merasa menanggung banyak masalah yang muncul antar-saudara, baik yang sekandung maupun beda ibu. “Yang sekandung saja ada pro dan kontra, itu tetap ada,” kata Pembayun yang kakeknya, almarhum Sultan HB IX, punya sejumlah istri.
Bagi orang di luar keraton, persoalan akibat poligami mungkin bisa dihindari dengan memisahkan rumah istri-istrinya. Tapi perlakuan itu tak bisa begitu saja diterapkan di lingkungan keraton. Masing-masing istri Sultan tetap tinggal di satu lingkungan, keraton. “Sementara peluang konflik antar mereka tetap tak terhindar, putra-putri keraton harus menerima keadaan dan saling menjaga hubungan antar saudara,” ujar Pembayun.
ANANG ZAKARIA