TEMPO.CO, Semarang - Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali menyatakan saat ini aparat keamanan sering kecolongan jika ada warga negara yang melakukan gerakan kekerasan atas nama agama.
"Aturan saat ini menyebutkan orang baru bisa ditindak jika sudah melakukan perbuatan nyata," kata As'ad di Semarang, 25 Maret 2015.
Untuk menangkal gerakan terorisme maupun radikalisme, seperti kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), As'ad mengusulkan adanya revisi tiga aturan. Pertama, perbaiki Undang-Undang Kewarganegaraan. Aturan ini harus dirinci, jika ada orang yang pergi ke negara yang dilarang, status kewarganegaraannya bisa dicabut.
Kedua, As'ad juga meminta agar Undang-Undang Anti-terorisme direvisi. "Mestinya teror bisa ditindak selagi masih dalam perencanaan," ujarnya.
Caranya, kata dia, dalam undang-undang harus dirinci apa saja rencana teror yang bisa ditindak. Misalnya, diurai pernah ikut latihan organisasi teroris, pernah ikut aktif organisasi tertentu yang ada kaitannya dengan terorisme, hingga pernah pergi ke luar negeri yang ada kaitannya dengan gerakan terorisme.
Ketiga, As'ad mengusulkan adanya revisi KUHP yang menyangkut perbuatan kebencian, penghinaan, dan penghujatan. Pasal ini juga harus dirinci lebih lanjut agar bisa digunakan.
Menurut As'ad, keran demokrasi pada era Reformasi menyebabkan sebuah aturan terlalu longgar sehingga tak bisa digunakan. Karena itu, As'ad usul agar ada revisi undang-undang sehingga bisa digunakan menindak terorisme. "Tapi undang-undang ini tidak bisa disalahgunakan untuk menindak aktivis politik," kata As'ad.
ROFIUDDIN