TEMPO.CO, Jakarta - Meningkatnya kondisi ketidakpastian di Timur Tengah akibat serangan udara yang dilancarkan pemerintah Arab Saudi ke wilayah Yaman kian menguntungkan posisi mata uang dolar. Pada akhir pekan, laju dolar yang masih terkena imbas spekulasi penaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed’s rate) bergerak menguat hampir terhadap seluruh mata uang regional.
Rupiah pun turun 47,5 poin (0,36 persen) ke level 13.065 per dolar AS. Ringgit terkoreksi 0,60 persen menjadi 3,6840 per dolar AS, sementara yen turun 0,18 persen ke level 119,41 per dolar AS.
Ekonom dari Bank Permata, Joshua Pardede, mengatakan prospek kenaikan suku bunga The Fed memang masih mendominasi pergerakan dolar. Investor yang meyakini outlook jangka panjang perekonomian AS bakal terus tumbuh menyebabkan sebagian dari mereka mengakumulasi aset-aset berdenominasi dolar. “PDB AS yang diprediksi meningkat menjadi 2,4 persen mengukuhkan persepsi investor pada kinerja pertumbuhan ekonomi Abang Sam,” ujarnya, Jumat, 27 Maret.
Menurut Joshua, wacana bakal naiknya Fed’s Rate memang sulit dibendung. Kondisi unemployment rate yang sudah berada pada level 5,5 persen membuat mayoritas investor yakin penaikan Fed’s Rate hanya menunggu waktu. “Saat ini acuan The Fed kelihatannya hanya tinggal inflasi.”
Meski demikian, tekanan rupiah juga masih berasal dari kebutuhan rutin korporasi pada akhir bulan. Aksi korporasi untuk memenuhi kewajiban jangka pendek membuat dolar kekurangan likuiditas di pasar domestik. Inflasi Maret yang diperkirakan bergerak ke level 0,27-0,30 persen menambah kuat tekanan terhadap rupiah. Sebab, menurut Joshua, mulai berbaliknya laju inflasi tersebut meningkatkan kekhawatiran perlambatan kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pekan depan, rupiah pun diprediksi masih berada dalam kisaran level 13.000-13.150 per dolar AS.
PDAT | MEGEL JEKSON