TEMPO.CO ,Canberra - Empat ilmuwan Australia menunjukkan hubungan resistensi bakteri terhadap antibiotik dengan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang buruk di 28 negara di Eropa. Hasil penelitian ini mengejutkan para pekerja di bidang kedokteran.
“Kami menemukan bahwa di negara yang tata kelola pemerintahannya buruk dan korupsinya tinggi, resistensi antibiotiknya juga lebih tinggi,” kata Peter Collignon, ketua tim peneliti dari Sekolah Kedokteran The Australian National University (ANU). Hasil penelitian itu diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE, 18 Maret 2015.
Anggota tim peneliti, Sanjaya Senanayake, menjelaskan, hal itu terjadi karena negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki pengawasan yang tidak ketat dan kurang transparan. Kontrol mereka atas wilayah yang berhubungan dengan resistensi antibiotik juga kurang efektif.
"Ini termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian antibiotik dan cara bakteri yang resisten antibiotik menyebar melalui air, makanan, dan pengendalian infeksi yang buruk," kata Senanayake.
Menurut dia, di negara-negara dengan korupsi tinggi, volume dan dosis pemakaian antibiotik juga mungkin jauh lebih tinggi daripada yang dicatat oleh petugas medis. ”Jika pemberantasan korupsi ditingkatkan, akan membalikkan keadaan.”
Meningkatnya infeksi oleh bakteri setelah pasien diberi antibiotik merupakan salah satu ancaman terbesar yang dihadapi dunia pengobatan modern. Di Amerika Serikat saja, setiap tahun sekitar 23 ribu orang mati akibat resistensi antibiotik. Sekitar dua juta penyakit juga dikaitkan dengan bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Minimnya kontrol infeksi, sanitasi buruk, dan buruknya higinietas seluruh fasilitas yang menunjang kehidupan menyebarkan bakteri resisten dari manusia ke manusia.
Senanayake dan timnya meneliti resistensi antibiotik di negara-negara Eropa dari sisi medis dan perspektif ekonomi-politik pada periode 1998-2010. Negara yang diteliti antara lain Austria, Belgia, Bulgaria, Ciprus, Cek, Yunani, Jerman, Denmark, Spanyol, dan Inggris.
SCIENCEDAILY | BBC | JOURNALS.PLOS.ORG | AHMAD NURHASYIM