TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, meski harga Premium naik menjadi Rp 7.300 per liter, Pertamina tetap merugi karena belum mencapai harga keekonomian. Dia menuturkan harga keekonomian Premium adalah Rp 8.200-8.500 per liter dengan asumsi harga Indonesia crude price US$ 52 per barel, nilai tukar 12 ribu per dolar AS, dan komponen lain, seperti biaya angkut, pajak, serta marjin untuk badan usaha.
"Kalau pemerintah tidak memberikan subsidi, tentu harus ada pihak yang menganggung. Dugaan saya, yang menanggung adalah Pertamina," katanya dalam diskusi energi di Warung Bumbu Desa, Cikini, Ahad, 29 Maret 2015.
Dia mengatakan, jika Pertamina dibiarkan merugi, pemerintah melanggar undang-undang perseroan atau badan usaha milik negara. Meski demikian, menurut dia, pemerintah mempertimbangkan daya beli masyarakat atas kenaikan harga tidak mencapai harga pasar.
"Tapi ada masalah internal yang harus diselesaikan, yaitu siapa yang menanggung ini," katanya. Pasalnya, dalam APBN, hanya minyak tanah dan solar yang masih mendapat subsidi dari pemerintah.
Kepala Unit Pengendalian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Widhyawan Prawiraatmadja, mengatakan, dengan harga di bawah keekonomian, Pertamina akan melakukan hitung-hitungan dengan pemerintah. "Jangan lupa, pemerintah itu menerima dividen. Mereka (Pertamina) juga mendapat keuntungan dari lain-lain, bisa saja dividen dikurangi," ujarnya.
Dia mengatakan kebijakan melepas Premium sesuai dengan harga pasar sudah menjadi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan. Kendati demikian, pemerintah melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan tersebut.
ALI HIDAYAT