TEMPO.CO, Banda Aceh - Batu giok Aceh maupun batu akik lainnya yang diperjual-belikan di Aceh tidak memiliki standar harga, berbeda dengan di sejumlah negara lainnya. "Karena lebih kepada nilai seni dan kegemaran para pencintanya," kata Ketua Gabungan Pecinta Batu Alam Aceh Nasrul Sufi di Banda Aceh, Jumat, 27 Maret 2015.
Menurut Nasrul, di negara seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Afrika, batu alam sudah ditentukan nilai jualnya sesuai dengan jenis, kekerasan, dan beratnya, sehingga pembeli dapat mengetahui harganya dengan mudah.
Di Aceh, kata dia, batu memiliki nilai seni tapi tak punya standar harga. Misalnya, dalam satu bongkahan besar batu giok Aceh, yang diambil oleh pengolah hanya sedikit bagiannya yang indah untuk dijadikan mata cincin maupun liontin. "Inilah kemudian yang membuatnya mahal. Sulit menentukan harga."
Namun, batu giok Aceh juga dinilai mempunyai kualitas terbaik di Asia-Pasifik. "Kita patut bangga dengan hal ini," ujar Nasrul.
Seorang penggemar giok Aceh, Syech Din, mengakui hal itu. Dia pernah membeli bongkahan kecil setengah kilogram giok dengan harga Rp 10 juta. Batu itu kemudian dia asah menjadi delapan mata cincin, empat di antaranya berkualitas super.
Seorang pembeli menawar satu mata cincin Syech yang berkualitas super dengan harga Rp 10 juta. "Saya jual satu saja sudah balik modal," ujar dia.
Menurut dia, nilai seni dan kecantikan batu itulah yang membuat harganya melambung dan tak punya standar. Hal ini bergantung pada minat dan ketertarikan para pembeli.
ADI WARSIDI