TEMPO.CO, Jakarta - Kantor berita Associated Press mengungkap praktek perbudakan anak buah kapal (ABK) oleh PT Pusaka Benjina Resources di Pulau Benjina, perairan Aru, Maluku. Dalam laporannya berjudul Was Your Seafood Caught By Slaves?, pada 25 Maret 2015, AP memaparkan bagaimana perlakuan tidak manusiawi diterima ABK Benjina yang mayoritas berasal dari Myanmar itu.
Para budak mengatakan tidak tahu ke mana perginya ikan yang mereka tangkap. Mereka hanya tahu bahwa saking berharganya ikan-ikan itu, mereka dilarang memakannya.
Mereka mengatakan para kapten di kapal-kapal nelayan memaksa mereka minum air kotor dan bekerja selama 20 sampai 22 jam setiap giliran, tanpa hari libur. Bayaran mereka sangat kecil atau bahkan tidak dibayar, untuk pekerjaan menarik jala.
Para pria itu dikurung. Mereka mengaku ditendang, dicambuk dengan ekor ikan pari atau dipukul, jika mengeluh atau mencoba beristirahat. Banyak “budak” yang menjadi cacat atau bahkan mati di kapal mereka.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun terlihat geram. Ia mengatakan akan menginvestigasi dan menindak tegas pelaku praktek perbudakan anak buah kapal. Susi tidak akan segan membekukan izin perusahaan yang terlibat kejahatan, baik pencurian ikan, dan perbudakan usaha perikanan. “Kami akan bekukan izinnya,” kata Susi di kediamannya di Pangandaran, Jawa Barat, kemarin.
Ia membenarkan ada perbudakan ABK yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di kapal-kapal yang beroperasi di Pulau Benjina, perairan Aru, Maluku. Meski demikian, menurutnya, PBR merupakan perusahaan penanaman modal asing yang beroperasi untuk perusahaan asal Thailand.
Susi mengaku kecewa ada perusahaan Indonesia memfasilitasi kejahatan itu. Ia telah berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan pemerintah daerah untuk menjerat PBR. Kedutaan Besar RI di Bangkok juga mengawal kasusnya di Thailand.
AGUSSUP | DEVY ERNIS | AP