TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan sulit memblokir situs-situs online yang dinilai menyebarkan paham radikal dan terorisme di Indonesia. Kesulitan itu muncul lantaran situs radikal dan terorisme tak memakai kata kunci universal pada nama domainnya. Kata kunci universal itu yang biasa dipakai oleh mesin untuk melakukan pemblokiran secara otomatis. "Mau bagaimana?" kata Rudiantara, Senin, 30 Maret 2015.
Rudiantara membandingkan situs terorisme dengan situs pornografi. Menurut dia, umumnya situs pornografi menggunakan kata kunci atau keyword tertentu untuk memudahkan orang mencarinya lewat mesin pencari. Kata kunci itulah yang lantas digunakan mesin pemblokir untuk menutup situs tersebut. "Bisa langsung di-blacklist oleh Nawala (mitra pemerintah)," katanya.
Sedangkan nama domain situs yang dinilai menyebarkan paham radikal bermacam-macam, acak, dan tidak memiliki kata kunci universal. "Misalnya nama domain abrakadabra.com, tapi isinya paham radikal."
Karena itu, hingga saat ini Kementerian masih mengandalkan laporan dari masyarakat ihwal keberadaan situs radikal. Atas dasar itulah Kementerian meminta penyedia layanan Internet (Internet service provider/ISP) melakukan pemblokiran.
Rudiantara mengatakan, perihal pemblokiran itu, Kementerian sekadar memfasilitasi kerja lembaga-lembaga lain yang berkonsentrasi pada isu radikalisme dan terorisme. Salah satunya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (bnpt), yang meminta Kementerian memblokir situs-situs radikal.
Sampai akhir pekan lalu, kata Rudiantara, Kementerian sudah memblokir 70 situs radikal. Sedangkan dalam surat Kementerian kepada ISP yang salinannya diterima Tempo, berdasarkan permintaan BNPT, Kementerian meminta pemblokiran 19 situs yang dinilai radikal. Situs-situs radikal itu di antaranya arrahmah.com, voa-islam.com, dan eramuslim.com.
KHAIRUL ANAM