TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 19 situs yang dianggap radikal. Namun, kata Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Henry Subiakto, pemblokiran itu dilakukan tanpa proses peradilan karena situs-situs tersebut tidak punya pengelola atau alamat jelas.
Menurut Henry, tidak adanya individu penanggung jawab dan alamat fisik menyebabkan proses peradilan dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak bisa dilakukan. "Peraturan Menkominfo Nomor 19/2014 itu turunan UU ITE juga," katanya kepada Tempo, Senin, 31 Maret 2015.
Jika menggunakan UU ITE, kata Henry, yang dikenai sanksi adalah individu. Pemblokiran, Henry menyebutkan, adalah upaya antisipasi pemerintah terhadap bahaya konten negatif. Menteri Kominfo memblokir 19 situs itu dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014.
Henry juga mengatakan pemerintah tidak bisa menggunakan Undang-Undang Pers karena situs-situs itu tidak memiliki dewan redaksi valid dan badan hukum perusahaan pers. Status situs yang diblokir berbeda dengan media massa yang berbasis perusahaan atau lembaga pers yang legal. "Ini bukan pers karena tidak jelas. Jika pers diblokir, itu sama dengan sensor," ujarnya.
Menurut Henry, pemblokiran 19 situs itu menjadi isu sensitif karena situs-situs tersebut menggunakan nama Islam. Henry tak heran jika kemudian pemblokiran oleh Kominfo ini dianggap sebagai sikap anti-Islam.
Pada Senin siang, tujuh orang yang mengaku pengelola 19 situs yang diblokir Kominfo itu melayangkan protes kepada Menteri Kominfo. Mereka mewakili Aqlislamiccenter.com, Hidayatullah.com, Kiblat.net, Salam-online.com, Panjimas.com, Arrahmah.com, dan Gemaislam.com.
KHAIRUL ANAM