TEMPO.CO, Jakarta - Kini, identifikasi penyakit difteri (penyakit gangguan pernapasan) bisa dilakukan hanya dalam waktu 60-90 menit. Adalah Sunarno, mahasiswa doktoral Departemen Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang menemukan metode identifikasi terbaru difteri tersebut.
Metode yang dia namakan dengan metode PCR Multipleks ini mengurangi tahapan PCR (polymerase chain reation). Mulanya, PCR memiliki tiga tahapan kerja: denaturation (modifikasi DNA), annealing (hibridasi DNA), dan ekstention (penggandaan DNA). Sunarno mengurangi tahapan tersebut menjadi dua langkah. Pengurangan tahapan ini dipercaya dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam proses identifikasi penyakit difteri.
"Namun, butuh temperature melting (Tm) DNA yang cukup tinggi, sekitar 70 derajat Celcius," kata Sunarno saat memaparkan penelitiannya kepada para penguji, di Ruang Senat FKUI, Jakarta Pusat, Rabu, 1 April 2015. Penelitian yang berjudul "Pengembangan PCR Multipleks untuk Identifikasi Cepat Spesies dan Toksigenisitas" ini sebagai persyaratan meraih gelar doktor dalam bidang ilmu biomedik.
Dengan Tm DNA yang cukup tinggi, menurut Sunarno, metode transferase activity (Ta) PCR bisa mencapai 68 derajat celcius. Tingkat temperatur tersebut, menurut dia, berimbas pada proses hibridasi DNA (annealing), yang dapat digabungkan dengan tahapan ekstensi DNA. Dia mengklaim, modifikasi tahapan ini dapat mereduksi waktu pemeriksaan lebih dari 50 persen dengan kualitas hasil yang sama.
Semula, identifikasi penyakit difteri bisa memakan waktu 3-5 hari. Sedangkan jika menggunakan metode PCR Multipleks, Sunarno menambahkan, identifikasi hanya memakan waktu 60-90 menit saja. Dia melakukan eksperimennya di Laboratorium Bakteriologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Pemeriksaan PCR Multipleks ini juga memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dengan sensitivitas mendekati 100 persen. Sunarno membuktikannya dalam identifikasi 10 sampel positif bakteri penyebab difteri, yakni Corynebacteria diphteriae, C. ulserans dan C. pseudotubercolusis.
"Tak hanya itu, biayanya juga cukup murah dibandingkan dengan metode biasa," ujar Sunarno. "Sekitar Rp 50 ribu per sampel."
Penelitian Sunarno ini berangkat dari upaya menurunkan angka kematian yang disebabkan penyakit difteri. Caranya, kata Sunarno, dengan deteksi dini bakteri penyebab penyakit tersebut. Namun, ujarnya, identifikasi dini bakteri penyebab difteri bukanlah hal mudah. Musababnya, pemeriksaan laboratorium selama ini memakan waktu 3-5 hari.
Mengutip laporan World Health Organization, Sunarno menyebut kasus difteri di Indonesia mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Bahkan, kata dia, Indonesia menempati urutan kedua jumlah penderita difteri terbanyak di dunia setelah India.
AMRI MAHBUB