TEMPO.CO, Jakarta - Di negara maju, teknologi 3D printing kini bukan hanya digandrungi para desainer yang merancang produk konsumer. Industri arsitektur dan desain interior juga mengakrabi teknologi 3D printing untuk membuat beragam prototipe desain. Belakangan, industri kesehatan, otomotif, dan fashion pun mulai merambah penggunaan teknologi ini.
Sayangnya, pengetahuan masyarakat akan 3D printing masih minim di Indonesia. Penemu mesin cetak 3D di Indonesia, Johanes Djauhari, menjelaskan ada sejumlah kendala pengembangan 3D printing.
Berikut perbincangannya bersama Satwika Movementi dari Tempo lewat sambungan telepon, Senin lalu.
T: Bagaimana perkembangan 3D printing di Indonesia saat ini?
Saat ini masih sebatas tahap perkenalan. Orang awam masih banyak yang menanyakan, apa sih 3D printing? Belum banyak yang mengetahui. Untuk saat ini masih dibilang sebagai product knowledge.
Yang sudah memanfaatkannya baru sebagain orang, yakni mahasiswa jurusan desain, arsitektur, atau para desainer produk. Eksposure-nya juga masih sangat kurang. Paling mentok, ya, hanya lihat di televisi printer 3D itu seperti apa.
T: Apakah karena printer-nya belum banyak di pasar?
Bisa dibilang seperti itu. Printer 3D bukan benda yang umum dijual di mal. Hanya ada di beberapa universitas dan perusahaan yang bergerak di bidang desain. Kendala lain karena harga printer dan materialnya yang mahal. Padahal, ini bisa dirakit sendiri.
T: Lantas, apa saja keuntungan menggunakan teknologi 3D printing?
Ini sangat bermanfaat untuk membuat prototip sebelum suatu perusahaan memproduksi barang. Bayangkan, seorang desainer interior tidak perlu bawa-bawa kursi ketika presentasi. Jadi cukup membawa prototip saja. Sehingga, ini bisa sangat menghemat waktu membuat prototip.
Namun, ini tidak disarankan (digunakan) untuk memproduksi massal. Karena untuk memproduksi satu benda printer ini membutuhkan waktu 1-1,5 jam. Sedangkan kalau pabrik yang menggunakan mesin, biasanya dalam hitungan menit bisa mencetak ratusan produk.
Sebuah printer 3D biasanya maksimal mencetak 50 produk prototip berukuran kecil. Harga material plastik yang dihitung per gram akan menjadi sangat mahal jika untuk memproduksi dalam jumlah banyak. Jadi waktu dan harga sebenarnya menjadi kekurangan 3D printing.
T: Bagaimana peluang Indonesia dalam memanfaatkan 3D printing?
Peluang pasti ada, hanya saja ada beberapa hal yang harus dilakukan. Misalnya untuk kesehatan, apakah birokrasi sudah mengizinkan untuk pembuatan prototip organ tubuh? Kalau di luar negeri sudah umum menggunakan 3D printing untuk prototip gigi, ginjal, dan lainnya. Indonesia sudah harus siap memanfaatkan teknologi ini.
SATWIKA GEMALA MOVEMENTI