TEMPO.CO, Bandung - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pemblokiran situs yang dituduh radikal akan dibuka jika pengelolanya sudah menghapus konten negatifnya. "Kalau ternyata tidak ada konten itu, sudah hilang, atau bisa dihilangkan, kita normalisasi," ujarnya di Bandung, Kamis, 1 April 2015.
Rudiantara menuturkan kementeriannya mempersilakan pengelola situs mengajukan keberatan atas pemblokiran situsnya. "Ada tujuh yang merasa tidak mempunyai konten berkaitan dengan radikalisme, kita akan perhatikan," katanya.
Menurut Rudiantara, kementeriannya sudah menggelar rapat bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM; serta Kementerian Agama untuk membahas soal pemblokiran itu. Kementerian Komunikasi kemudian melanjutkan rapat bersama sejumlah pengelola situs yang memprotes pemblokiran itu.
Pengelola situs diminta membawa bukti sanggahan bahwa situsnya tidak memuat konten yang menjadi musabab pemblokiran tersebut dan akan disandingkan dengan bukti yang dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang mengirim rekomendasi pemblokiran. "Nanti akan kelihatan pakai evidence. Semua orang bisa klaim. Semua institusi kalau klaim saja susah," ujarnya.
Menurut Rudiantara, kementeriannya hanya berurusan dengan situs yang berisi konten negatif. "Bahwa ini terkait radikalisme, terorisme. Itu urusannya Densus, BNPT. Urusan hukumnya ke sana. Masak, saya yang ngurusin," tuturnya.
Rudiantara mengatakan soal konten yang terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) paling banyak berada dalam video sharing platform. "Yang diblokir itu situsnya. Biasanya mereka juga sampai video sharing platform. Yang paling banyak ISIS itu dalam bentuk video sharing platform," ucapnya.
AHMAD FIKRI